Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hilangnya Suara Kenabian dalam Pusaran Politik

10 September 2020   06:28 Diperbarui: 10 September 2020   06:35 180
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi para Tokoh Agama. Sumber foto : qureta.com

Politik dan agama punya sejarah yang sulit untuk dipisahkan. Peristiwa sejarah yang melibatkan politik dan agama berulang kali terjadi dengan pola dan tujuan yang identik. Mereka yang terlibat dalam politik praktis pasti paham bahwa berpolitik adalah untuk berkuasa. Beberapa dari antara mereka menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan politiknya. Dan agama merupakan alat yang sering digunakan dalam politik praktis.

Ketika masa perjuangan kemerdekaan peran rohaniwan atau tokoh agama tidak bisa dianggap sepele. Di masa itu hampir semua elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, memiliki kesamaan nasib, yaitu dijajah bangsa kolonial. Semua berjuang demi kemerdekaan. Namun, dalam perjalanannya sampai sekarang, terjadi degradasi esensi dan pergeseran nilai. Munculnya sentimen agama untuk meraih suara dalam pemilihan sudah menjadi warna tersendiri di masa sekarang.

Politik dan agama memang tidak dapat dipisahkan. Sebaliknya, politik dan agama akan berguna bila sesuai koridor dan fungsinya dalam berbangsa dan bernegara. Tetapi, dalam prakteknya tidaklah demikian. Politisi yang hanya ingin berkuasa dengan cara yang tidak beradab dan etis disambut dengan pemuka agama yang opurtunis. Sejarah mencatat, setiap politisi dan pemuka agama yang bekerja sama demi keuntungan pribadi hanya akan menimbulkan kekacauan.

 Tokoh agama atau rohaniwan termasuk kelompok orang yang sangat dihormati di Indonesia. Mereka umumnya memiliki pengaruh yang sangat besar dan diikuti oleh banyak kalangan. Di Indonesia sendiri, saat sedang sakit atau mengalami masalah, beberapa diantara kita cenderung akan mencari rohaniwan atau tokoh agama. Seakan- akan tokoh agama mampu menyelesaikan semua persoalan hidup yang kita alami.

Setiap musim pemilihan, para calon wakil rakyat ataupun calon presiden akan rutin sowan ke pemuka agama untuk sekedar basa- basi dan meminta doa restu. Mereka paham betul manfaat yang akan didapatkan bila tokoh agama yang mereka kunjungi memberikan dukungan.

Apapun yang diucapkan oleh tokoh agama sudah menjadi fatwa bagi pengikutnya. Bila tokoh agama secara langsung mendukung calon presiden A maka kemungkinan besar pengikutnya akan mendukung si A tersebut. Dukungan tokoh agama itu juga yang dijadikan dalil dan fatwa untuk mempengaruhi orang lain.

Saat itu terjadi kemungkinan yang akan terjadi adalah kekacauan. Ini bisa terjadi karena orang Indonesia belum dewasa dalam berpolitik. Bersatunya tokoh agama dengan warna politik tertentu akan menyulitkan tokoh agama bersikap objektif dan jernih dalam menilai kinerja dan sosok politisi dan partai yang didukungnya.

Tokoh agama akan gamang dan memilih bersikap abu- abu dalam sepak terjang politisi dan partai politik yang didukungnya. Bisa jadi, sikap abu- abu dipilih karena sudah mendapatkan sesuatu dari kesepakatan yang ada. Kemungkinan lainnya adalah bisa jadi sang tokoh agama sedang berhalusinasi karena mengkultuskan seseorang yang dianggap akan membawa perubahan.

Tentu saja tidak semua tokoh agama bersikap demikian. Yang membedakannya dibandingkan tokoh agama yang mendukung adalah integritas. Hanya tokoh agama yang menjaga jarak dari kekuasaan yang bisa tetap jernih dan mencerahkan. Tidak peduli siapapun yang berkuasa, integritas sang rohaniwan akan tetap terjaga selama tidak ikut- ikutan dalam politik praktis.

Peran tokoh agama atau rohaniwan dalam politik yang amburadul seperti sekarang ini sangat diperlukan untuk memperbaiki, bukan malah membuat warna politik semakin kotor. Suara kenabian dari rohaniwan sangat dibutuhkan sebagai pencerahan dalam karut marut politik dan kekuasaan.

Tokoh agama dan tempat- tempat ibadah harus netral. Begitu juga dengan lembaga ataupun organisasi yang bergerak dalam bidang kerohanian. Hal ini untuk mencegah terjadinya polarisasi dan politisasi agama. Para rohaniwan maupun organisasi kerohanian/keagamaan harus kritis terhadap penguasa yang belum menjalankan tugas dan fungsinya untuk mewujudkan keadilan sosial.

Itu yang seharusnya dilakukan, bukan malah menjadi corong, tameng dan bamper penguasa dari suara- suara kritis orang lain kepada penguasa. Mendewakan penguasa sebaik apapun citranya sangat tidak patut dilakukan oleh orang- orang sekelas rohaniwan, tokoh agama ataupun lembaga kerohanian.

Inilah yang terjadi dimasa sekarang. Suara kenabian yang mencerahkan sulit ditemukan di Indonesia. Suara- suara yang sering kita dengar dari rohaniwan dan lembaga kerohanian saat ini adalah suara- suara yang penuh kebencian, kemunafikan dan tipu daya.

Selain ada yang dekat dengan kekuasaan, ada juga tokoh agama dan organisasi keagamaan yang menjaga jarak dengan sikap yang berlebihan. Mereka menghasut orang lain untuk membenci penguasa. Seolah- olah penguasa selalu salah, tidak ada benarnya. Mereka mengadu domba dan memecah belah sesamanya dengan memanipulasi ayat kitab suci. Orang yang berbeda dengan kelompoknya dicap kafir. Mereka melakukannya karena tokoh politik pilihannya tidak berkuasa dan dalam rangka mengganti sistem republik.

Kelompok rohaniwan dan lembaga kerohanian yang terakhir disebutkan sama bahayanya dengan rohaniwan dan lembaga kerohanian yang fanatik terhadap penguasa. Mendukung penguasa boleh tetapi jangan bersikap fanatik. Fanatisme buta hanya akan membuat mata hati bungkam terhadap penguasa yang keliru dan mementingkan dirinya sendiri. Ini persis seperti yang dikatakan Karl Marx, agama tak ubahnya seperti candu.

 Kita patut bertanya, mengapa suara kenabian dimasa sekarang hampir tidak ada?. Bila kita merenungkannya, barangkali suara kenabian dari rohaniwan hilang karena hidup dalam kemunafikan. Mengetahui tentang kebenaran dan keTuhanan, tetapi hidupnya jauh dari itu. Tidak menjadi teladan bagaimana seharusnya berTuhan. Atau sebaliknya, selama ini sebenarnya kita salah dalam memahami dan menerapkan nilai- nilai dan prinsip berTuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun