Mohon tunggu...
Rian Rustian
Rian Rustian Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Saya menulis karena tidak bisa menulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Harapan Warga Jawa Barat di Pemilukada Jabar 2013

13 Desember 2012   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:43 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Jawa Barat sedang “memanas”, lima pasangan calon akan bersaing untuk menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi yang beribukota di Bandung ini. Entah apa yang mereka cari dan entah apa tujuan mereka, yang jelas saat ini mereka sedang melakukan Road Show guna merebut hati rakyat Jawa Barat dengan segala macam visi dan misi yang berisi kata-kata mulia, yang entah ditujukan untuk siapa. Yang jelas, saat ini mungkin masyarakat Jawa Barat sedang menimbang-nimbang siapakah yang kira-kira bisa membawa provinsinya menjadi lebih baik dalam segala aspek.

 

Aku pernah punya pengalaman yang mungkin ini bisa menjadi perhatian atau renungan bagi lima pasangan calon tersebut. Aku tinggal di sebuah kecamatan A, kelurahan B di kota Bandung. Entah karena masyarakatnya belum merasakan pemerataan dalam berbagai aspek, atau wilayah kecamatanku terlalu luas sehingga pemerataanya belum berjalan sempurna, maka pemekaran menjadi solusinya. Entah karena perintah dari pemkot Bandung atau karena inisiatif dari segelintir orang, maka kini tempat tinggalku dimekarkan dan berubah menjadi kecamatan A1, kelurahan B.

 

Selepas lulus kuliah, maka tugasku selanjutnya adalah mencari pekerjaan. Sebagai fresh graduate, aku belum mempunyai pengalaman apapun di dunia kerja. Oleh karena itu, lowongan pekerjaan apapun, aku pasti akan mencobanya, termasuk lowongan pekerjaan untuk menjadi seorang PNS, baik itu di Pemerintahan Daerah ataupun Kementrian-kementrian Indonesia. Menjadi seorang PNS tidaklah mudah, banyak sekali saingannya dan banyak pula syarat yang harus aku penuhi, salah satunya adalah dari sisi administratif. Aku harus mempunyai Kartu Kuning (Kartu Keterangan Pencari Kerja).

 

Kemudian, atas saran dari orangtuaku, aku mendatangi kantor Kecamatan untuk meminta surat pengantar pembuatan Kartu Kuning. Sesampainya di sana, di halaman kantor Kecamatan ternyata banyak juga orang yang melakukan hal yang sama denganku. Mereka mengantri di halaman kantor Kecamatan untuk mendapatkan surat pengantar tersebut. Ketika tiba giliranku, aku langsung masuk ke dalam kantor yang berukuran 10 m x 7 m ini. Kantor tersebut terbagi menjadi tiga ruangan. Di salah satu sudut ruangan, aku melihat ada seorang pria yang masih muda sedang sibuk berkutat dengan mesin ketiknya. Dengan gerakan jari-jarinya yang tidak terlalu lincah, dia mengetik di sebuah blangko kosong. Sepertinya pria yang menggunakan kaos kerah dan celana bahan ini adalah petugas pembuat surat pengantar itu, ucapku dalam hati. Di ruangan lain, nampak seorang pria berkumis yang mengenakan pakaian PNS berwarna hijau sedang asyik membaca koran. Sementara, satu ruangan lagi nampak kosong, tidak ada siapa-siapa.

 

Selang lima menit, pria yang masih muda tersebut memanggilku.

 

“Silahkan duduk, Kang”, sapanya dengan ramah. “Ada keperluan apa?”.

 

“Saya mau membuat surat pengantar untuk pembuatan Kartu Kuning di Disnaker Bandung”, jawabku santai.

 

“Oh begitu. Boleh saya pinjam KTP-nya?”.

 

Aku kemudian memberikan KTP-ku sesuai permintaannya. Sekitar 15 menit Aku menunggu, akhirnya surat pengantar tersebut jadi juga.

 

“Ini, Kang surat pengantarnya”, petugas tersebut menyerahkan satu lembar kertas berisi pengantar untuk ke Disnaker Bandung yang awalnya berupa blangko kosong.

 

“Oke. Terima kasih ya Mas”, jawabku sambil tersenyum.

 

Petugas tersebut nampak kebingungan ketika melihatku mulai beranjak dari tempat dudukku. Dia kemudian memanggilku dengan ragu.

 

“Euhhh… euhhh maaf Kang”, panggilnya.

 

“Ya Mas, kenapa?”

 

“Kang, biayanya Kang”, ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

 

“Maksudnya?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.

 

Dia nampak terlihat malu-malu. “Euhhh… itu Kang. Surat pengantarnya ada biayanya”.

 

“Berapa dan untuk apa?”. Kali ini aku bertanya dengan serius.

 

“Sepuluh ribu Kang, untuk biaya blangko kosongnya”

 

Ketika dia menyebutkan nominal rupiah yang harus aku bayar, aku merasa heran. Karena dari tadi, aku tidak melihat selembar pun pengumuman mengenai biaya yang harus aku keluarkan untuk pembuatan surat ini. Apakah benar untuk pembuatan surat pengantar ini dikenakan biaya? Aku sedikit curiga. Lantas, aku coba menggertak.

 

“Emang, untuk pembuatan surat pengantar ini dikenakan biaya ya Mas? Kalau memang dikenakan biaya, boleh saya tahu aturannya darimana?”, tanyaku kritis.

 

“Euhh… Euhh… Ada ‘kok Kang aturannya”, jawabnya sambil mengaduk-aduk beberapa tumpukan kertas di atas mejanya.

 

“Oke, kalau memang ada, boleh saya lihat aturannya?”

 

”Sebentar, saya cari dulu Kang”.

 

Petugas itu melanjutkan pencariannya dengan membuka beberapa arsip yang berada di laci meja dan lemari dokumennya. Mengetahui SK yang dicarinya tidak ada, wajahnya kini sedikit pucat.

 

“Gimana Mas, ada ngga?”, tanyaku dengan nada sinis.

 

Mendengar pertanyaanku, petugas tersebut semakin terpojok. Kemudian, dia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada pria yang mengenakan baju PNS tadi..

 

“Pak, maaf. Si Akang ini nanyain aturan mengenai biaya pembuatan surat pengantar”, tanya petugas itu.

 

“Udah, kalau memang dia tidak mau bayar, ‘ga usah bayar. Paling juga orang ngga mampu. Kalau orang ngga mampu kaya gitu, biarin ajalah, suruh pulang aja” jawab pria yang mengenakan baju PNS itu sedikit berteriak di balik ruangannya.

 

Mendengar jawaban seperti itu, aku pun langsung keluar dan pulang. Kecurigaanku bisa jadi benar. Ada pemerasan disni. Kalau memang untuk pembuatan surat pengantar itu ada tarifnya, seharusnya petugas dan pria berbaju PNS itu bisa memberikan buktinya kepadaku. Tapi yang mereka lakukan adalah merendahkanku dengan menyebutku orang yang tidak mampu membayar di hadapan banyak orang yang juga sedang mengurus hal yang sama denganku. Kalau memang aku harus membayar, aku pasti akan membayar jika memang aturannya jelas.

 

Pemekaran wilayah tidak dijadikan sebagai sarana untuk melayani warganya dengan lebih maksimal, tetapi pemekaran menjadi tempat baru sebagai ajang pemerasan.

 

Entah siapa yang benar dalam hal ini, entah ada atau tidak ada SK mengenai aturan tersebut. Yang pasti, aku sebagai warga Jawa barat berharap calon pemimpin yang saat ini berlomba untuk menjadi Gub dan Wagub bisa membersihkan hal-hal seperti ini, bahkan sampai tingkat yang paling dasar, salah satunya kecamatanku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun