Petugas tersebut nampak kebingungan ketika melihatku mulai beranjak dari tempat dudukku. Dia kemudian memanggilku dengan ragu.
“Euhhh… euhhh maaf Kang”, panggilnya.
“Ya Mas, kenapa?”
“Kang, biayanya Kang”, ujarnya sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Maksudnya?”, tanyaku pura-pura tidak tahu.
Dia nampak terlihat malu-malu. “Euhhh… itu Kang. Surat pengantarnya ada biayanya”.
“Berapa dan untuk apa?”. Kali ini aku bertanya dengan serius.
“Sepuluh ribu Kang, untuk biaya blangko kosongnya”
Ketika dia menyebutkan nominal rupiah yang harus aku bayar, aku merasa heran. Karena dari tadi, aku tidak melihat selembar pun pengumuman mengenai biaya yang harus aku keluarkan untuk pembuatan surat ini. Apakah benar untuk pembuatan surat pengantar ini dikenakan biaya? Aku sedikit curiga. Lantas, aku coba menggertak.
“Emang, untuk pembuatan surat pengantar ini dikenakan biaya ya Mas? Kalau memang dikenakan biaya, boleh saya tahu aturannya darimana?”, tanyaku kritis.
“Euhh… Euhh… Ada ‘kok Kang aturannya”, jawabnya sambil mengaduk-aduk beberapa tumpukan kertas di atas mejanya.