“Oke, kalau memang ada, boleh saya lihat aturannya?”
”Sebentar, saya cari dulu Kang”.
Petugas itu melanjutkan pencariannya dengan membuka beberapa arsip yang berada di laci meja dan lemari dokumennya. Mengetahui SK yang dicarinya tidak ada, wajahnya kini sedikit pucat.
“Gimana Mas, ada ngga?”, tanyaku dengan nada sinis.
Mendengar pertanyaanku, petugas tersebut semakin terpojok. Kemudian, dia akhirnya memberanikan diri untuk bertanya kepada pria yang mengenakan baju PNS tadi..
“Pak, maaf. Si Akang ini nanyain aturan mengenai biaya pembuatan surat pengantar”, tanya petugas itu.
“Udah, kalau memang dia tidak mau bayar, ‘ga usah bayar. Paling juga orang ngga mampu. Kalau orang ngga mampu kaya gitu, biarin ajalah, suruh pulang aja” jawab pria yang mengenakan baju PNS itu sedikit berteriak di balik ruangannya.
Mendengar jawaban seperti itu, aku pun langsung keluar dan pulang. Kecurigaanku bisa jadi benar. Ada pemerasan disni. Kalau memang untuk pembuatan surat pengantar itu ada tarifnya, seharusnya petugas dan pria berbaju PNS itu bisa memberikan buktinya kepadaku. Tapi yang mereka lakukan adalah merendahkanku dengan menyebutku orang yang tidak mampu membayar di hadapan banyak orang yang juga sedang mengurus hal yang sama denganku. Kalau memang aku harus membayar, aku pasti akan membayar jika memang aturannya jelas.
Pemekaran wilayah tidak dijadikan sebagai sarana untuk melayani warganya dengan lebih maksimal, tetapi pemekaran menjadi tempat baru sebagai ajang pemerasan.
Entah siapa yang benar dalam hal ini, entah ada atau tidak ada SK mengenai aturan tersebut. Yang pasti, aku sebagai warga Jawa barat berharap calon pemimpin yang saat ini berlomba untuk menjadi Gub dan Wagub bisa membersihkan hal-hal seperti ini, bahkan sampai tingkat yang paling dasar, salah satunya kecamatanku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H