Hati Nurani Bangsa
- Masa Kecil di Bukittinggi dan Padang,1902-1917
Mohammad Hatta lahir di Bukittinggi pada 12 Agustus 1902 dari keluarga Surau di Batu Hampar (Kampung dipinggir jalan antara Bukittinggi dan Payakumbuh). Ayahnya bernama Muhammad Jamil. Beliau merupakan keturunan ulama besar dari kakeknya yang bernama Syaik Abdurrahman. Dan ibunya berasal dari kalangan pedagang. Sejak kecil Muhammad Hatta sudah terdidik agama, baik ibadah maupun perilakunya sangat disiplin.
Hatta memulai sekolah di Bukittinggi, kemudian di Padang beliau bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) sampai 1913 (dari kelas 5 sampai kelas 7), kemudian di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, SMP berbahasa Belanda) sampai 1917. Di Bukittinggi, beliau belajar agama Islam di surau Nyik Djambek (Syaikh Muhammad Djamil Djambek), dan di Padang dengan Haji Abdullah Ahmad.
Hatta adalah seseorang yang benar-benar menjaga waktu, beliau tak segan-segan menolak pertemuan dengan orang yang terlambat datang. Disiplin waktunya itu juga menyangkut soal ibadah, akhlak, dan moral. Pengaruh Islam sangat berpengaruh kuat pada diri Hatta.
Selain keluarga, pergaulan juga memengaruhi Hatta pada perekonomian. Di Padang beliau menjadi anggota Serikat Usaha dan aktif dalam pergerakan JSB (Jong Sumatranen Bond) dan melanjutkan sekolah di Prins Hendrik School, sekolah dagang menengah.
- Remaja Di Padang Dan Jakarta, 1917-1921
Sejak kecil Hatta telah menetapkan garis hidupnya, bahwa beliau akan bergerak dalam pergerakaan nasional. Haji Agus Salim dan Abdoel Moeis juga turut memberi pengaruh pada cara pandang Hatta mengenai nasionalisme Indonesia.
Di Jakarta, Hatta menjabat sebagai bendahara pimpinan pusat JSB. Beliau sering berkunjung ke asrama STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen, sekolah kedokteran). Sebagai pelajar, beliau sering berkunjung ke rumah Haji Agus Salim. Ketika itu, rumah Salim menjadi pusat kederisasi para pemuda. Hatta berbeda dengan Salim. Jika Hatta lebih menetapkan waktu kerja yang ketat, sedangkan Salim kurang menjaga waktu.
- Matang dengan Pergerakan di Belanda, 1921-1932
Hatta belajar di Belanda dari tahun 1921 hingga 1932. Beliau belajar di Handels Hogeschool (Sekolah Tinggi Dagang, kemudian Economische Hogeschool, sekolah tinggi ekonomi) di Rotterdam. Beliau juga aktif dalam organisasi Indische Vereniging (Perkumpulan Hindia, berdiri tahun 1908) yang awalnya adalah organisasi sosial namun kemudian menjadi organisasi politik, terutama pengaruh Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo pada tahun 1913 ketika mereka dilarang bergerak di Indonesia. Pada tahun 1924, organisasi ini berganti nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia (PI).
Pada tahun 1926 pimpinan jatuh ke pundak Hatta hingga tahun 1930, yang menyebabkan Hatta terlambat menyelesaikan studi dan beliau sengaja mengambil lagi pelajaran baru, yaitu tentang tata negara. Di bawah kepemimpinannya, PI memperlihatkan perkembangan pergerakan nasional di Indonesia. Pada tahun 1926, Semaun dari partai Komunis Indonesia menemui Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan secara umum pada PI, namun Hatta tidak bisa menyetujui paham dan cara komunis, kemudian pimpinan komunis dunia, Stalin, membatalkan tawaran Semaun tersebut.
Dalam pidato penerimaannya sebagai ketua PI tahun 1926, Hata mengemukakan bahwa penjajahan merupakan sifat serakah pihak barat untuk menguasai dan memanfaatkan hasil negeri yang dijajah. Tulisannya tentang kemerdekaan banyak disebarkan di Belanda, namun diberangus di Indonesia. Pada tahun ini pula, beliau pergi ke Bierville, Perancis, sebagai wakil PI untuk ikut dalam Kongres Demokrasi Internasional yang dihadiri oleh para utusan dari 31 bangsa. Hatta berhasil meyakinkan kongres agar mempergunakan kata “Indonesia” dan bukan “Hindia Belanda” dalam merujuk tanah airnya.
Pada tahun 1927 Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Abdul Madjid Djojoadhiningrat, ditangkap oleh penguasa Belanda. Mereka dituduh menjadi anggota partai terlarang. Mereka dituntut tiga tahun penjara (untuk Hatta), dua setengah tahun (untuk Ali Sastroamidjojo dan Nazir Pamunjtak), dan dua tahun (untuk Abdul Madjid Djojoaghiningrat). Setelah beberapa bulan, pada tahun berikutnya keempat tahanan Indonesia dibebaskan karena tuduhan tidak dapat dibuktikan.