Dalam suatu pemerintahan, terdapat beberapa jenis politik yang dijalankan oleh para pemegang otoritas pemerintahan, salah satunya adalah politik identitas. Politik identitas telah ada sejak abad ke 19 di negara bagian Barat. Di Indoneia sendiri telah muncul sejak zaman pra kemerdekaan. Terdapat berbagai pendapat tentang konsep politik identitas, ada yang yang menyetujuinya dan ada pula yang tidak menyetujuinya. Diperlukan analisis yang lebih lanjut terkait konsep politik identitas, terutamanya di Indonesia.
Agama merupakan lembaga yang mengatur kepercayaan dan pemujaan terhadap dewa (antara lain), aturan yang berkaitan dengan adat istiadat, dan pandangan dunia yang menghubungkan manusia dengan tatanan kehidupan, dan praktik keagamaan dipengaruhi oleh adat istiadat setempat. Sejak tercatat sejarah, adat telah menjadi alat untuk mengajarkan ajaran agama. Agama sulit untuk didefinisikan, tetapi Clifford Gertz mengusulkan model standar agama untuk mempelajari agama. Dia hanya menyebutnya "sistem budaya". Kritik Talal Asad terhadap model Geertz mengklasifikasikan agama sebagai "kategori antropologis". Banyak agama memiliki mitos, simbol, dan kisah sakral yang menjelaskan makna, tujuan, dan asal usul kehidupan dan alam semesta. Orang-orang memperoleh moralitas, etika, hukum, atau cara hidup favorit mereka dari keyakinan mereka tentang alam semesta dan manusia. Diperkirakan ada sekitar 4.200 agama di dunia.
Politik berasal (dari bahasa Yunani politica, "urusan perkotaan") adalah serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengambilan keputusan kelompok, atau bentuk lain berdasarkan interaksi kekuasaan individu, alokasi air, dan status. Cabang ilmu sosial yang mempelajari politik dan pemerintahan disebut ilmu politik. Politik mengacu pada hubungan antara pemerintah dan warga negara dalam proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat mengenai kepentingan rakyat di suatu wilayah tertentu. Dalam konteks pemahaman politik, ada beberapa kunci pemahaman, antara lain: legitimasi, institusi politik, perilaku politik, partisipasi politik, proses politik, dan yang tidak kalah penting, seluk beluk partai politik. Merchandise politik menjadi bahan perbincangan atau perbincangan para politikus dan cendikiawan.
Identitas agama sering diperhitungkan dalam pemilu di tingkat nasional dan lokal. Pasalnya, politik identitas, operasi yang agak fleksibel dalam tatanan kehidupan sosial, merupakan konsep yang licin, rentan terhadap sisi negatif dan positif. Dalam hal membebaskan kaum minoritas yang terpinggirkan, seperti gerakan Black Lives Matter di Amerika Serikat, memperjuangkan hak-hak mereka, berdampak positif. Saat ini, politik identitas seringkali merupakan produk kelompok mayoritas yang mengeksploitasi identitas agamanya untuk kepentingan tertentu, seperti yang terjadi di Indonesia saat ini. Alasan mengapa agama menjadi pertimbangan utama dalam politik dapat dilihat dari tingkat hubungan sosial dalam masyarakat. Relasi sosial erat kaitannya dengan politik identitas karena memiliki dua dimensi. Pertama, dimensi jembatan dibentuk oleh hubungan yang baik dengan kelompok lain. Yang kedua adalah keterikatan. Itu didasarkan pada hubungan sosial dengan kelompok kelompok agama dan subtansi yang sama.
Efek dari dua dimensi sangat berbeda. Kohesi mempengaruhi solidaritas dalam kelompok yang sama, tetapi cenderung negatif pada kelompok luar. Sementara itu, menjembatani dengan berbagai kelompok eksternal memiliki sisi positifnya. Kebijakan identitas juga bisa diuji di tingkat anggota DPR RI. Partai politik menganggap agama menjadi pertimbangan terpenting dalam memilih presiden dan pemimpin daerah, menurut survei PPIM UIN Jakarta tahun 2019. Agama tidak boleh digunakan sebagai komoditas atau istilah politik. Penggunaan simbol-simbol agama merupakan bentuk ketidakdewasaan politik yang dapat menimbulkan konflik agama. Agama adalah sumber inspirasi bagi semua aspek kehidupan umat manusia. Namun jika tidak dikelola dengan benar dapat menjadi sumber konflik antar umat beragama.
Politik Agama dan Identitas
Politik identias sebagaimana pada pandangan Agnes Heller dapat dipahami sebagai suatu konsep yang berfokus pada adanya suatu pembedaan yang di mana pada suatu kategori utamanya terletak pada berbagai janji-janji terhadap eksistensi dan keberlangsungan kebebasan, dan toleransi yang walau pada akhirnya terjadi bentuk-bentuk intoleransi dan kekerasan juga pertentangan etis. Sehingga pada praktiknya, politik identitas dapat mengindikasikan terjadinya berbagai macam bentuk isu dan praktik rasisme, politik isu lingkungan, bio-feminisme, dan perselisihan terhadap etnis. Namun nampaknya, eksistensi politik identitas masih menjadi primadona bagi para tokoh dan aktivis yang bergerak pada dunia politik. Di Indonesia, politik identitas telah terjadi sejak lama, yang tepatnya sudah terjadi pada masa kolonial abad ke-19. Lalu ruang lingkup politik identitas mencakup pada beberapa sektor, yaitu pada praktik atau studi keilmuan pada bidang sosial dan politik.
Terdapat sebuah penegasan terkait konsep politik identitas dari seorang pakar Ilmu Politik Universitas Duke yaitu Donald L. Morowitz sebagaimana yang dikutip oleh Larry Diamond yang mengatakan bahwa politik identitas adalah suatu pemberian garis tegas secara vertikal untuk menentukan terhadap siapa yang akan diikutsertakan dan siapa yang tidak diikutsertakan (Diamond & Plattner, 1988). Berdasarkan pada argumen Morowitz tersebut, di dalamnya sangat nampak bahwa dalam manuveur berpolitik, terjadi adanya suatu seleksifitas antara siapa saja tokoh atau kelompok yang terpilih atau tidak dalam keberlangsungan sistem dan tananan politik. Proses seleksi tersebut tentu saja mempertimbangkan berbagai macam ketentuan yang ketat, salah satunya pada sektor identitas. Dengan menyesuaikan latar belakang dan konsepsi politik yang telah ditentukan, para pemegang otoritas dalam dunia politik berhak untuk menentukan siapa saja yang dapat berpartisipasi dalam menjalankan roda politik dan pemerintahan yang ada di dalamnya. Yaitu dengan meninjau para calon-calon yang akan diikutsertakan, mereka memilih berdasarkan pada ideologi, budaya, agama, etnis, yang dimiliki oleh individu-individu yang akan dilibatkan.
Kemudian dalam konteks ke-nusantaraan, praktik politik identitas cenderung terjadi pada sektor gerakan pemekaran daerah yang merupakan sebagai dari wujud ambisi para elit lokal yang tampil sebagai pemimpin dalam suatu wilayah. Konsep pemekaran daerah tersebut dapat berwujud terhadap keadilan dan pembangunan daerah. Isu pemekaran daerah tersebut pada realita mayoritas yang terjadi semata-mata hanya sebagai penarik simpati masyarakat demi mencapai tujuan utama para elit politik lokal, yaitu untuk menjadi pemegang otoritas dalam suatu wilayah tertentu.
 Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa politik identitas adalah cara memobilisasi massa, menggunakan identitas sebagai magnet untuk menggiring individu mengejar keinginan pribadi kelompoknya. Identitas dapat mengarah langsung pada orang-orang yang memiliki kesamaan dalam agama, ras, dan budaya. Ada rasa integritas kelompok yang tumbuh, dengan kelompok komunitas yang terorganisir merasa lebih unggul dari yang di luar. Politik identitas umumnya terbagi dalam dua kategori, sosiologi dan politik. Dalam kategori sosiologi, dapat dipahami sebagai identitas sosial termasuk ras, jenis kelamin, gaya, kelas dan kepercayaan. Dari perspektif desain, judul sosial menentukan esensi hubungan sosial, tetapi di satu sisi, derajat desain menentukan ruang utama yang terkait dengan tingkat sosial melalui rasa memiliki. Judul sering dipengaruhi oleh situasi politik dan menjadikan sebagai alat kekuasaan.
Dalam setiap negara yang ada di dunia, tentu saja memiliki keberagamaan identitas semacam keyakinan, bangsa, dan kaum yang menjadi menarik atensi untuk dikaji pada wilayah keilmuan dewasa ini dengan berbagai sudut pandang yang berbeda. Salah satunya adalah  Indonesia, sebuah negara kepulauan yang terbentang luas dari Sabang hingga Merauke yang kaya akan bahasa, budaya, dan agama yang unik. Keanekaragaman subkulturnya merupakan isyarat bagi negara Indonesia yang harus diawasi secara intensif terhadap kepekaan atau perasaan yang saling bertentangan yang menimbulkan konflik budaya. Kebhinekaan dalam masyarakat tampaknya perlu bagi negeri berlambang Garuda itu. Dengan mengingat keanekaragaman dan kekayaan yang dimiliki oleh Indonesia, hal ini tidak terlepas dari pembuatan kronik-kronik politik yang haus akan kekuasaan dan membidikkan peluru kepada lahan dan wilayah untuk mengeksploitasinya pada saat-saat tertentu.  Indonesia memiliki populasi 70 juta jiwa selama deklarasi kemerdekaan yang hingga pada sekarang membengkak menjadi sekitar 250 juta jiwa yang mengindikasikan bahwa Indonesia  merupakan negeri dengan jumlah penduduk terbersar keempat di dunia. Oleh sebab itu, politik identitas seringkali muncul di permukaan sejarah Indonesia modern dan harus didasarkan pada penalaran sejarah yang sistematis tanpa mengabaikan tujuan material.
 Secara historis, politik identitas mulanya bukanlah suatu hal yang menarik untuk dikaji oleh para pakar dan ilmuan di dunia Barat. Namun hingga pada tahun 1970-an, ketika Amerika menghadapi berbagai fenomena dan problema terakit isu diskriminasi gender, kelajangan, feminisme, ras, dan masyarakat yang terpinggirkan. Dimensi desain gelar selanjutnya menular ke persoalan keyakinan, dan ikatan kebudayaan yang lainnya. Seorang akademisi Barat adalah orang pertama yang menjelaskan realitas politik identitas yang sebenarnya melalui penelusuran silsilah militansi mahasiswa Amerika tahun 1960-an.Â
Pada masa politik zaman sekarang, desain gelar bisa menjadi suatu hal yang bahaya bagi sikap nasionalis rakyat serta kesatuan negeri pada asas keyakinan yang masih mengenai dengan desain gelar, sehingga jika menavigasi politik identitas muncul dari sejarah Indonesia. , ada kecenderungan untuk memasukkan suku, keyakinan, serta pemikiran desain terkait secara intens dalam kondisi negara kesatuan Republik Indonesia yang multikultural. Namun, hubungan pada keyakinan serta politik di Indonesia telah berkembang dan terjalin cukup lama. Integritas kepercayaan menjadi gelar yang mempunyai power untuk menarik banyak orang telah menjadi ciri serta fakta yang sebenarnya telah terjadi sebelum kemerdekaan Indonesia, akibatnya sudah membentuk hal yang biasa pada kemasyarakatan. Pada awal abad ke-20, bermacam golongan sosial telah muncul di Indonesia, terkait dengan kesesuaian sosial-politik dan agama. Namun permasalahannya, daya tangkap bangsa tentang politik atau desain dapat dikatakan minim, oleh karena itu keyakinan sealalu dijadikan patokan dalam berpolitik yang bertuah untuk melengkapi keinginan golongan tertentu.
 Desain gelar benar-benar efektif bila digabungkan untuk memperoleh kekuasaan semata-mata atas nama agama. Namun, kontrol yang ketat diperlukan agar tidak berpengaruh negatif ke dalam persatuan bangsa yang pluralistik, karena rujukan pada perbedaan bisa menjadi boomerang bagi integrasi sebuah bangsa. Berjuang untuk mempertahankan posisi di negara bahkan memakai trik yang dianggap kriminal atau menipu. Contohnya, ketika seorang terpilih menjadi ketua, dia mengungkapkan institusi demokrasi dengan memalsukan pemilu, menutup atau membeli otoritas stasiun televisi dan surat kabar independen, dan menekan aktivitas oposisi. Dapat diketahui bahwa dengan hal ini, negara telah menyatu dengan tradisi kekuasaan. Dengan tradisi tersebut, negara memiliki durabilitas dan otoritas yang kuat juga luas dalam mengendalikan gerakan sosial dan konspirasi melawan tradisi oposisi untuk mencegah orang berkembang dan beralih ke tradisi tersebut dan mulai menundukan legitimasi lawan. Tomas Carothers menciptakan istilah "zona abu-abu" yang berarti negara yang tidak radikal absolut atau  terlalu dinamis. Anggapan itu lalu dikuatkan dengan pendapat bahwa banyak elit absolut yang tidak antusias untuk menciptakan institusi dinamis yang dianggap melemahkan kekuasaan mereka. Mengungkapkan  "Kepanikan dan teror sering terjadi pada situasi kekerasan suku maupun keyakinan dan tidak bisa dijadikan untuk memaparkan analisis identitas pada keadaan persaingan tanpa kekerasan seperti pemilu".
Berbicara tentang identitas, kepentingan penguasa tetap  mendominasi sebagai faktor melawan kelompok terhadap  kepentingan politik mereka. Pasal tersebut mengklaim bahwa keberadaan lembaga demokrasi di suatu negara  tidak banyak bicara mengenai apakah suatu bangsa  diatur dengan baik atau buruk. Usaha dalam melengkapi janji demokrasi ini mungkin menjadi suatu tantangan terbesar terhadap legitimasi sistem politik semacam itu. Sebaliknya, pendapat pepatah latin, "suara rakyat adalah suara Tuhan" (Vox Populi Vox Dei). Oleh karena itu, hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri tidak boleh dirusak oleh apapun dan siapapun, sehingga kehendak rakyat seperti kehendak Tuhan. Selain itu, ada  pepatah yang mengatakan bahwa "kekuasaan rakyat adalah hukum yang tertinggi" (Salus Populi Supreme Lex). Oleh karena itu, dalam negara yang memiliki corak demokrasi diputuskan bahwa hukum tertinggi  dalam suatu negara adalah berdasarkan dari tekad bangsa. Misalkan, ketidak jelasan dalam pelaksanaan demokrasi adalah di Ukraina pada tahun 2000 yang diberi tanda dengan berkurangnya protes terhadap hasil pemilihan pemimpin yang dipandang sebagai proses penyelewengan pemilihan pemimpin. Protes publik terhadap hasil pemilu memicu gerakan yang disebut "Revolusi Oranye" yang menuntut pemimpin baru. Ketika Yuschenko menjabat, ia dipandang sebagai pengkhianatan oleh para pengikutnya. Konsekuensi dari kemiskinan yang berkepanjangan dan ketidakstabilan politik sering menyebabkan bentuk-bentuk disfungsi sosial lainnya, seperti geng, narkoba, dan ketidakamanan umum di antara orang-orang biasa. Dalam hal ini, para pemimpin biasanya menggunakan politik identitas sebagai retorika politik "singkatnya, politik identitas seharusnya hanya digunakan sebagai alat manipulasi untuk memobilisasi politik untuk memenuhi kepentingan ekonomi dan politiknya".
India juga merupakan negara demorasi paling sukses sejak kemerdekaan pada tahun 1947, sekali lagi mengejutkan mengingat kemiskinan, keragaman ras dan agama, serta ukurannya. Tetapi hampir sepertiga dari anggota parlemen India menghadapi berbagai tuntutan pidana, beberapa di antaranya merupakan pelanggaran serius seperti pembunuhan dan pemerkosaan. Juga, perdagangan suara dan korupsi merajalela. "Kekuasaan cenderung korup", menggambarkan kekuasaan cenderung korup, kalimat ini selalu menggambarkan beberapa peristiwa di suatu negara, dalam hal ini para pencari biasanya menggunakan berbagai cara untuk mendapatkannya, termasuk taktik politik identitas. Sifat primitif, ras, ras, agama, geografi semuanya dipaksa sebagai sarana untuk mencapainya. Politik identitas seringkali mengabaikan hakekat kepentingan nasional, padahal taktik tersebut telah bertahan di setiap komunitas dan bangsa selama berabad-abad.
Politik Identitas Di Indonesia
Politik identitas  Indonesia dibumbui dengan berbagai isu terkait konflik antara mereka yang beridentitas nasionalis dengan mereka yang beridentitas agama. Dalam tema ini, muncul temuan di antara keduanya tentang keunggulan atau eksklusivitas setiap identitas yang mereka ulangi. Lebih dalam lagi, sejarah panjang kemerdekaan Indonesia selama ini menunjukkan bahwa landasan agama (Islam) telah memberikan kontribusi yang begitu besar dalam pembentukan bangsa Indonesia, termasuk pembentukan dan penerimaan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Namun, perebutan kekuasaan politik  kembali mengulang sejarah kelam, dengan menggunakan politik identitas agama sebagai sarana propaganda kekuasaan.Â
Keyakinan beragama merupakan persoalan penting bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, yaitu agama  tidak dapat dipisahkan dari hal-hal yang berkaitan dengan negara dalam kehidupan masyarakat. Dengan maraknya paham sekuler, pluralistik dan liberal yang mengedepankan pemisahan  negara dan agama, lambat laun mulai merusak persatuan bahkan menghancurkan solidaritas antar umat beragama di Indonesia, khususnya umat Islam yang terbentuk di antara keragaman dalam reservoir nasionalisme.
Tema nasionalisme sejak lama dimaknai di Indonesia sebagai semangat berbangsa, beragama, ras, golongan, dll. Itu adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan, menciptakan integrasi yang harmonis atas dasar kerjasama, dan mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Varietas itu. Namun saat ini, nasionalisme dipandang sebagai solidaritas etnis dengan minoritas yang ditakuti sebagian besar kelompok agama. Permasalahan politik identitas yang terfragmentasi di Indonesia tidak terlepas dari kepentingan politik elit politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan memanipulasi politik identitas Indonesia. Pembedaan golongan nasionalis dan beragama dipandang sebagai cara untuk menutupi ketidakmampuan pemerintah saat ini dalam mengatasi permasalahan negara, terutama dalam hal meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat luas.Â
Krisis kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap gagal menjawab keprihatinan masyarakat luas telah menyebabkan munculnya kepentingan politik untuk menjaga kredibilitas pemerintah di mata publik. Berbagai kebijakan yang banyak menimbulkan gejolak di masyarakat antara lain kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kenaikan harga bahan pokok, kenaikan nilai tukar rupiah, dll. Konflik politik identitas di Indonesia juga dipengaruhi oleh iklim pemilu dan seringkali melibatkan isu agama yang harus dipisahkan dari isu kebangsaan. Hal ini telah menyebabkan kasus penodaan agama dan telah meninggalkan agama minoritas merasa didiskriminasi karena keyakinan mayoritas mereka. Kemudian konflik berlanjut sebagai masalah yang sangat penting, jangan campur adukkan agama dengan masalah politik. Pemilu seringkali menjadi ajang perebutan kekuasaan yang menghalalkan segala cara, bahkan agama pun menjadi korban.
Proses pemilu telah menjadi titik fokus bagi kesenjangan yang semakin besar antara nasionalisme Indonesia dan agama. Kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang adil dan bijaksana, ditambah dengan keserakahan akan kekuasaan, menjadikan politik identitas sebagai sarana yang paling efektif untuk meraih suara rakyat. Opini publik yang diimplementasikan dan dibentuk oleh media massa yang berjiwa pluralistik dan nasionalis memecah belah kehidupan masyarakat. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar agama di Indonesia telah lama mengamalkan prinsip nasionalisme dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan Indonesia, seperti menerima pancasila sebagai dasar toleransi negara terhadap agama dan mengakui eksistensinya.
Isu terkait politik identitas harus dilihat dari siapa, apa, dan bagaimana di balik kepentingan tersebut. Kelompok elit menggunakan politik identitas untuk merebut fanatisme individu atau kelompok terhadap isu-isu agama untuk mengangkat isu-isu besar, yang kepentingannya menimbulkan begitu banyak kontroversi dan menjadi ancaman bagi etno-nasionalisme. Kontradiksi dalam politik identitas kemudian diintensifkan oleh serangkaian pemberitaan media, dengan kedua belah pihak saling menuduh benar dan salah. Bertambahnya jumlah informasi, bahkan dalam hitungan menit, telah menyebabkan isu politik identitas lepas kendali dan menimbulkan masalah baru dengan penyebaran berita yang tidak pasti, yang sebagian besar mengandung disinformasi. Penipuan ini sangat memperparah konflik antara kelompok nasionalis dan agama. Menarik kelompok komunitas arus utama dengan berita palsu memudahkan orang membuat keputusan tanpa memikirkan kembali rasionalitas dan kebenaran mereka, yang pada gilirannya menyebabkan persekusi yang merajalela dan peretas menggulingkan partai yang dianggap sebagai lawan politik mereka.
Arah politik yang tidak tepat dalam menyelesaikan konflik politik identitas ini bisa berujung pada matinya praktik demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, semua kemungkinan bentuk perpecahan antara kedua kelompok identitas politik ini harus diminimalkan melalui peran pemerintah dan masyarakat. Kebhinekaan yang ada di Indonesia harus dijadikan wadah solidaritas yang menghargai perbedaan yang membangun, bukan sebaliknya. Kemauan politik pemerintah Indonesia adalah solusi terpenting untuk mengakhiri konflik antara dua blok politik identitas ini. Kedaulatan nasional hanya dapat dicapai dengan mengutamakan kepentingan nasionalisme, dimana terdapat perbedaan antar agama, ras, suku, golongan dan lain-lain. Kemandirian pemerintah dalam mengelola sistem pemerintahan mencerminkan keberhasilan pemerintah karena mampu merumuskan kebijakan yang sepenuhnya menguntungkan kedaulatan warganya dan bebas dari campur tangan pihak luar yang memajukan demokrasi seluas-luasnya melalui sekularisme. pemahaman pluralistik dan liberal, mengabaikan fakta sejarah nasional.
Pengaruh Politik Identitas Terhadap Agama
Berdasarkan buku-buku, majalah, dokumen dan literatur lain yang  dibaca dan dianalisis, terlihat bahwa politik identitas merupakan salah satu taktik politik yang mulai memanas dan menyebar ke seluruh penjuru Indonesia. Hal ini dikarenakan situasi politik di negeri ini telah memahami isu-isu identitas seperti mempermainkan isu-isu etnis, agama, etnis, budaya dan golongan untuk melayani kepentingan  politik  untuk mengalahkan lawan.
Selain itu, politik identitas bisa disebut  politik perbedaan. Hal ini terlihat dalam tindakan politik yang sifatnya berbeda, berusaha mencapai upaya untuk mengontrol pembagian nilai-nilai yang dianggap fundamental dan berpengaruh dalam pembuatan kebijakan, yang dapat mempengaruhi berdasarkan superioritas, mis. dalam konteks etnisitas, aspirasi tersebut bercampur dengan kebijakan pengaturan teritorial, mengarah pada  keinginan untuk menciptakan otonomi khusus, yang mengarah pada penciptaan gerakan separatis, dan secara religius, pada upaya yang dapat memasukkan nilai-nilai agama, yang mengarah pada syariah daerah. peraturan yang berujung pada perselisihan antar agama, karena mengubah identitas daerah hanya sebagai wilayah beberapa agama. Namun politik identitas terkadang tidak berdampak buruk bagi keutuhan bangsa dan negara di masa depan, melainkan rasa persatuan dan kesatuan bangsa.
Melihat perbedaan pendapat para ahli, dapat dikatakan bahwa sangat wajar adanya perbedaan pendapat berdasarkan pendapat dan pengetahuan yang mereka sampaikan. Namun, ada pendapat yang dianggap mendukung  munculnya politik identitas di  masyarakat ini. Pendapat ini merupakan pendapat Ahmad Syafii Maarif. Ia mendukung  adanya politik identitas sepanjang kegiatan politik tersebut tidak merugikan masyarakat Indonesia, dan kegiatan politik tersebut dilakukan secara bersama-sama dan dalam persaudaraan, tanpa pembedaan antar suku,  agama, dan  masyarakat. Namun, ada juga pendapat yang tidak setuju bahkan menentang maraknya politik identitas di berbagai negara. Pendapat ini datang dari Cressida J Heyes dan Lukemantor, meskipun keduanya membantah niat mereka untuk berbeda. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan oleh Cressida J Heyes, dianggap bertentangan dengan politik identitas karena terdapat tanda-tanda aktivitas politik yang berdampak merugikan, yang mengarah pada ketidakadilan antar komunitas dan kelompok.Â
 Tidak lupa pandangan Lukmantoro, yang menurutnya politik identitas dapat disebut politik perbedaan, dan tindakan politik dapat mempengaruhi asal mula primitif dan etnosentrisme. Hal ini karena munculnya sikap seperti itu disebabkan oleh kebijakan daerah yang tetap, di mana pengambil keputusan dipengaruhi oleh kekhasan mereka, seperti superioritas, yang dapat menyebabkan perpecahan, misalnya konsekuensi dari munculnya gerakan separatis. gerakan. terorisme dan serangan balik. mengganggu kelompok lain yang mereka anggap musuh kelompoknya. Dan terakhir, pendapat Donald L Horowitz, yang dianggap netral dalam menanggapi kebangkitan politik identitas, membandingkannya dengan garis keras terhadap status anggota identitas itu. Hal ini berdasarkan pernyataannya yang dianggap netral baik dari sisi dukungan maupun posisi oposisi, tetapi hanya sebagai penjelasan atas memanasnya politik identitas di masyarakat saat ini. Oleh karena itu, hasilnya disajikan dengan rincian pendapat berdasarkan pendapat berbagai ahli. Bahkan, pembahasan tentang masalah ini kini marak dan hadir di masyarakat maupun di lingkungan kita.
Kebijakan Identitas
Secara umum kebijakan identitas memiliki beberapa istilah lain yang memiliki arti yang sama, yaitu kebijakan keragaman atau bisa juga disebut kebijakan multikulturalisme. Sebab penyebutan  istilah ini memiliki kaitan yang sangat khusus dengan unsur politik identitas, dan juga pengusulan istilah politik identitas lainnya merupakan salah satu motivasi untuk meningkatkan perjuangan  identitas yang mengiringi isu politik tersebut. Dengan demikian, dapat dijelaskan bahwa politik identitas merupakan salah satu kegiatan politik yang didasarkan pada strategi memperkenalkan berbagai  simbol identitas, yang digunakan sebagai senjata utama dalam pelaksanaan praktik politik, misalnya untuk memperkuat argumentasi, mendobrak argumen lawan lawan politik seperti mengangkat isu budaya, isu etnis dan isu lainnya.
Gagasan dan Faktor Terhadap Politik Identitas
Sikap toleran dalam politik seperti itu memungkinkan  untuk  diterapkan di negara-negara yang penduduknya memiliki  identitas yang berbeda atau negara yang pluralistik (multikulturalisme), dan juga dapat diterapkan di negara-negara yang menganut sistem negara demokrasi. Kemudian dapat kita sebutkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya sikap toleransi politik, yaitu faktor  psikologi politik, pelaksanaan sistem politik, struktur politik yang kuat dan kemakmuran ekonomi negara yang semakin meningkat.
Hal-hal Yang Berhubungan Terhadap Politik Identitas Di Indonesia
Perseteruan antara Nasionalisme dan Agama
Inilah yang  terjadi di Indonesia, di mana ada dua kelompok masyarakat yang mendiskusikan ide-idenya, yaitu antara orang-orang yang beridentitas nasionalis dan orang-orang yang membawa identitas agama. Padahal, landasan agama merupakan  bukti  sejarah kemerdekaan Indonesia dan banyak memberikan kontribusi bagi dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, yang terkandung dalam petunjuk ilahi. Ide nasionalisme ini kemudian dapat diartikan sebagai semangat nasionalisme dan semangat patriotisme. Di Indonesia, nasionalisme dapat digolongkan sebagai semangat persatuan dan kesatuan antarsuku, agama, ras, kebangsaan, golongan, dan lain-lain. Hal ini ditunjukkan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dimana mereka bersatu padu dan bekerja sama  melawan  penjajah yang ingin menguasai wilayah Indonesia. Hingga akhirnya mereka mampu bekerjasama dengan baik hingga  kemerdekaan Indonesia. Namun sekarang, penting untuk dicatat bahwa nasionalisme tercermin dari kelompok minoritas yang merasa tertindas dan terintimidasi.
Namun, perselisihan ini muncul karena hanya kepentingan elit politik yang lebih terlibat dalam urusan politik mereka untuk mendapatkan atau mempertahankan  kekuasaan di negara ini. Mereka melakukan ini dengan  menggunakan identitas agama sebagai alat propaganda politik dan perebutan kekuasaan. Cara ini mengarah pada hal-hal yang hanya dijadikan alat  atau memanipulasi rakyat Indonesia dengan propagandanya yang solid. Biasanya isu-isu ini lebih sering muncul dalam pemilihan parlemen, yang merupakan  kesempatan bagi  mereka untuk berani menggunakan senjata utama mereka, yaitu mengungkapkan pendapat tentang identitas lawan, untuk mengusir lawan dari politik. Hal ini pada gilirannya menciptakan perbedaan antara  nasionalisme dan identitas keagamaan, yang dapat merusak citra baik ideologi Pancasila.
Politik identitas di AcehÂ
Aceh adalah salah satu provinsi paling barat di  Indonesia. Bahkan, Aceh juga disebut sebagai "Veran Mekkah" di Indonesia karena dasar dan hukum yang berlaku di provinsi Aceh adalah Syariat Islam. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa masyarakat Aceh lebih cenderung pada pemikiran keagamaan, yaitu hukum agama Islam. Pada awalnya Aceh ingin merdeka karena Aceh memiliki wilayah sendiri sejak awal  yaitu Kesultanan Aceh. Namun Kesultanan Aceh mulai goyah dan dibubarkan pada tahun 1903, menyerah kepada Hindia Belanda. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1976, Aceh mengorganisir gerakan separatis untuk melawan negara Indonesia, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka.Â
Gerakan ini didirikan oleh Tengku Hasan Di Tiro, yang percaya bahwa pemerintah Indonesia yang mengeluarkan kebijakan dalam bentuk pendekatan militeristik, merasa bahwa rakyat Aceh  tidak puas dengan pemerintah Indonesia dan bahwa rakyat Aceh frustrasi dengan wilayahnya. tidak. dipertimbangkan di bawah pengawasan pemerintah pada masa Orde Baru. Hal ini semakin memperburuk situasi politik di Indonesia  ketika  Aceh membentuk gerakan separatis untuk memperoleh kemerdekaan. Selanjutnya masyarakat Aceh didorong untuk berdiri sendiri karena merasa wilayahnya sudah penuh untuk dijadikan  negara. Hal ini dapat dijadikan dalih bahwa Aceh juga  menggunakan  politik identitas berdasarkan agama, suku dan masyarakat Aceh yang dianggap tidak sesuai dengan harapan Indonesia pada masa Orde Baru. Bahkan, masyarakat Aceh  merasa sudah memiliki jiwa nasionalis terhadap daerahnya. Namun, perlu dicatat, berdasarkan mediasi Anderson, yang berpendapat pada tahun bahwa nasionalisme adalah seperti sebuah komunitas di  mana komunitas tersebut dipandang sebagai persaudaraan yang mendalam meskipun dieksploitasi (Anderson, 1983). Pendapat ini juga terkait dengan masalah politik identitas di Aceh, ketika pemerintah Indonesia merasa dieksploitasi oleh era Orde Baru, mereka merasa terdorong oleh tumbuhnya nasionalisme dan persatuan rakyat Aceh.
Pilgub DKI Jakarta 2017Â
  Pada bagian ini dapat dikatakan bahwa politik identitas  sangat menonjol. Bisa disebut ketika penguatan politik identitas di suatu daerah menciptakan gerakan politik yang sangat jelas, seperti  menggunakan isu  opini pemimpin untuk memenangkan pemilu untuk mempertahankan kekuasaan. Kasus ini  dilatarbelakangi oleh salah satu calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang merupakan etnis dan agama minoritas. Hal inilah yang justru menimbulkan hal-hal yang tidak biasa, yaitu diremehkannya isu SARA, Dalam kasus ini, politik identitas yang dimainkan termasuk dalam budaya politik yang tidak sehat yang dapat memunculkan perpecahan yang tidak hanya hadir di Jakarta, tetapi juga berdampak pada masyarakat Indonesia.Â
Politik identitas pada realitanya memiliki berbagai macam pendapat tergantung pada sudut pandang para ahli yang mengungkapkannya. Konsep politik identitas pun menuai berbagai pendapat yang memiliki perbedaan satu sama lain. Terdapat argumentasi yang menyatakan bahwa konsep dan praktik politik identitas dapat memecah integrasi suatu bangsa, terutama dalam politik identitas yang berbasis keagamaan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa politik identitas merupakan sesuatu hal yang tidak selalu dapat dinilai buruk, politik identitas pun dinilai dapat menggugah kemajuan dan persatuan masyarakat. Terlepas dari berbagai opini di atas, praktik politik identitas dinilai hanya mementingkan beberapa individu atau kelompok yang sejalan dengan pemahaman dan ideologi para tokoh dan pemegang otoritas politik. Yang pada selanjutnya, dapat terjadi adanya sebuah ketimpangan sosial dan keadilan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Di Indonesia sendiri, fenomena politik identitas masih banyak digunakan oleh beberapa kelompok politik, terutamanya pada saat pemilihan umum. Dengan menjanjikan terhadap kemajuan pada suatu daerah atau entitas tertentu, mereka (para calon pemegang otoritas politik) berusaha menarik hati masyarakat dengan janji-janji tersebut. Janji-janji tersebut banyak yang terealisasi dan menguntungkan dua belah pihak, namun lebih banyak juga janji-janji yang tidak ditepati dan berakhir menjadi hembusan angina belaka. Terakhir, isu politik identitas yang berlandaskan agama merupakan senjata jitu yang dapat memenangkan terhadap kompetisi politik dewasa ini. Walaupun sebenarnya sangat begitu disayangkan bahwa agama yang menjadi nilai suci dalam masyarakat telah dijadikan sebagai alat pendukung dalam maneuver keegoisan para tokoh-tokoh politik. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H