Mohon tunggu...
Arie Riandry
Arie Riandry Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurusan Studi Agama Agama
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Teks Komersil

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Fenomena Politik Identitas di Indonesia

18 Maret 2023   11:01 Diperbarui: 18 Maret 2023   11:03 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sikap toleran dalam politik seperti itu memungkinkan  untuk  diterapkan di negara-negara yang penduduknya memiliki  identitas yang berbeda atau negara yang pluralistik (multikulturalisme), dan juga dapat diterapkan di negara-negara yang menganut sistem negara demokrasi. Kemudian dapat kita sebutkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terbentuknya sikap toleransi politik, yaitu faktor  psikologi politik, pelaksanaan sistem politik, struktur politik yang kuat dan kemakmuran ekonomi negara yang semakin meningkat.

Hal-hal Yang Berhubungan Terhadap Politik Identitas Di Indonesia

Inilah yang  terjadi di Indonesia, di mana ada dua kelompok masyarakat yang mendiskusikan ide-idenya, yaitu antara orang-orang yang beridentitas nasionalis dan orang-orang yang membawa identitas agama. Padahal, landasan agama merupakan  bukti  sejarah kemerdekaan Indonesia dan banyak memberikan kontribusi bagi dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila, yang terkandung dalam petunjuk ilahi. Ide nasionalisme ini kemudian dapat diartikan sebagai semangat nasionalisme dan semangat patriotisme. Di Indonesia, nasionalisme dapat digolongkan sebagai semangat persatuan dan kesatuan antarsuku, agama, ras, kebangsaan, golongan, dan lain-lain. Hal ini ditunjukkan dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dimana mereka bersatu padu dan bekerja sama  melawan  penjajah yang ingin menguasai wilayah Indonesia. Hingga akhirnya mereka mampu bekerjasama dengan baik hingga  kemerdekaan Indonesia. Namun sekarang, penting untuk dicatat bahwa nasionalisme tercermin dari kelompok minoritas yang merasa tertindas dan terintimidasi.

Namun, perselisihan ini muncul karena hanya kepentingan elit politik yang lebih terlibat dalam urusan politik mereka untuk mendapatkan atau mempertahankan  kekuasaan di negara ini. Mereka melakukan ini dengan  menggunakan identitas agama sebagai alat propaganda politik dan perebutan kekuasaan. Cara ini mengarah pada hal-hal yang hanya dijadikan alat  atau memanipulasi rakyat Indonesia dengan propagandanya yang solid. Biasanya isu-isu ini lebih sering muncul dalam pemilihan parlemen, yang merupakan  kesempatan bagi  mereka untuk berani menggunakan senjata utama mereka, yaitu mengungkapkan pendapat tentang identitas lawan, untuk mengusir lawan dari politik. Hal ini pada gilirannya menciptakan perbedaan antara  nasionalisme dan identitas keagamaan, yang dapat merusak citra baik ideologi Pancasila.

  • Politik identitas di Aceh 

Aceh adalah salah satu provinsi paling barat di  Indonesia. Bahkan, Aceh juga disebut sebagai "Veran Mekkah" di Indonesia karena dasar dan hukum yang berlaku di provinsi Aceh adalah Syariat Islam. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa masyarakat Aceh lebih cenderung pada pemikiran keagamaan, yaitu hukum agama Islam. Pada awalnya Aceh ingin merdeka karena Aceh memiliki wilayah sendiri sejak awal  yaitu Kesultanan Aceh. Namun Kesultanan Aceh mulai goyah dan dibubarkan pada tahun 1903, menyerah kepada Hindia Belanda. Namun, setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1976, Aceh mengorganisir gerakan separatis untuk melawan negara Indonesia, mendirikan Gerakan Aceh Merdeka. 

Gerakan ini didirikan oleh Tengku Hasan Di Tiro, yang percaya bahwa pemerintah Indonesia yang mengeluarkan kebijakan dalam bentuk pendekatan militeristik, merasa bahwa rakyat Aceh  tidak puas dengan pemerintah Indonesia dan bahwa rakyat Aceh frustrasi dengan wilayahnya. tidak. dipertimbangkan di bawah pengawasan pemerintah pada masa Orde Baru. Hal ini semakin memperburuk situasi politik di Indonesia  ketika  Aceh membentuk gerakan separatis untuk memperoleh kemerdekaan. Selanjutnya masyarakat Aceh didorong untuk berdiri sendiri karena merasa wilayahnya sudah penuh untuk dijadikan  negara. Hal ini dapat dijadikan dalih bahwa Aceh juga  menggunakan  politik identitas berdasarkan agama, suku dan masyarakat Aceh yang dianggap tidak sesuai dengan harapan Indonesia pada masa Orde Baru. Bahkan, masyarakat Aceh  merasa sudah memiliki jiwa nasionalis terhadap daerahnya. Namun, perlu dicatat, berdasarkan mediasi Anderson, yang berpendapat pada tahun bahwa nasionalisme adalah seperti sebuah komunitas di  mana komunitas tersebut dipandang sebagai persaudaraan yang mendalam meskipun dieksploitasi (Anderson, 1983). Pendapat ini juga terkait dengan masalah politik identitas di Aceh, ketika pemerintah Indonesia merasa dieksploitasi oleh era Orde Baru, mereka merasa terdorong oleh tumbuhnya nasionalisme dan persatuan rakyat Aceh.

  • Pilgub DKI Jakarta 2017 

    Pada bagian ini dapat dikatakan bahwa politik identitas  sangat menonjol. Bisa disebut ketika penguatan politik identitas di suatu daerah menciptakan gerakan politik yang sangat jelas, seperti  menggunakan isu  opini pemimpin untuk memenangkan pemilu untuk mempertahankan kekuasaan. Kasus ini  dilatarbelakangi oleh salah satu calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, yang merupakan etnis dan agama minoritas. Hal inilah yang justru menimbulkan hal-hal yang tidak biasa, yaitu diremehkannya isu SARA, Dalam kasus ini, politik identitas yang dimainkan termasuk dalam budaya politik yang tidak sehat yang dapat memunculkan perpecahan yang tidak hanya hadir di Jakarta, tetapi juga berdampak pada masyarakat Indonesia. 

Politik identitas pada realitanya memiliki berbagai macam pendapat tergantung pada sudut pandang para ahli yang mengungkapkannya. Konsep politik identitas pun menuai berbagai pendapat yang memiliki perbedaan satu sama lain. Terdapat argumentasi yang menyatakan bahwa konsep dan praktik politik identitas dapat memecah integrasi suatu bangsa, terutama dalam politik identitas yang berbasis keagamaan. Namun ada juga yang berpendapat bahwa politik identitas merupakan sesuatu hal yang tidak selalu dapat dinilai buruk, politik identitas pun dinilai dapat menggugah kemajuan dan persatuan masyarakat. Terlepas dari berbagai opini di atas, praktik politik identitas dinilai hanya mementingkan beberapa individu atau kelompok yang sejalan dengan pemahaman dan ideologi para tokoh dan pemegang otoritas politik. Yang pada selanjutnya, dapat terjadi adanya sebuah ketimpangan sosial dan keadilan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain. Di Indonesia sendiri, fenomena politik identitas masih banyak digunakan oleh beberapa kelompok politik, terutamanya pada saat pemilihan umum. Dengan menjanjikan terhadap kemajuan pada suatu daerah atau entitas tertentu, mereka (para calon pemegang otoritas politik) berusaha menarik hati masyarakat dengan janji-janji tersebut. Janji-janji tersebut banyak yang terealisasi dan menguntungkan dua belah pihak, namun lebih banyak juga janji-janji yang tidak ditepati dan berakhir menjadi hembusan angina belaka. Terakhir, isu politik identitas yang berlandaskan agama merupakan senjata jitu yang dapat memenangkan terhadap kompetisi politik dewasa ini. Walaupun sebenarnya sangat begitu disayangkan bahwa agama yang menjadi nilai suci dalam masyarakat telah dijadikan sebagai alat pendukung dalam maneuver keegoisan para tokoh-tokoh politik.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun