Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Bahayakah Sharenting bagi Anak?

29 Januari 2025   21:19 Diperbarui: 30 Januari 2025   22:58 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jejak yang Nyaris Terlupakan

Pagi itu, Fira duduk di teras rumahnya. Ia menatap anaknya, Aira, yang tengah sibuk bermain dengan kucing kesayangannya. Senyum Aira begitu lepas, tak ada beban. Fira pun tersenyum, tetapi dalam hatinya, ia teringat sesuatu---keputusan yang dulu ia ambil dengan penuh pertimbangan.

Lima tahun lalu, saat Aira masih bayi, hampir setiap ibu muda di lingkungannya gemar mengunggah foto anak mereka ke media sosial. Mulai dari momen pertama tersenyum, belajar berjalan, hingga kebiasaan lucu sehari-hari. Fira pun nyaris ikut terbawa arus. Ia ingat betul, jarinya sudah hampir mengetuk tombol "unggah" setelah menulis caption manis tentang Aira. Namun, sesuatu menghentikannya.

Hari itu, ia membaca sebuah berita tentang seorang anak yang fotonya disalahgunakan oleh orang tak dikenal. Lebih dari itu, seorang psikolog berbicara tentang betapa anak-anak seharusnya diberi hak atas privasi mereka sendiri.

Sejak saat itu, Fira memutuskan untuk tidak membagikan kehidupan Aira di media sosial. Bukan berarti ia tidak mendokumentasikan tumbuh kembang anaknya. Sebaliknya, ia menyimpannya dalam album keluarga, mencetaknya menjadi buku kenangan, dan menceritakannya secara langsung kepada keluarga dekat.

Sekarang, di usia tujuh tahun, Aira tumbuh menjadi anak yang percaya diri. Tak ada teman yang mengejeknya karena foto-foto masa kecil yang memalukan. Tak ada jejak digital yang bisa membuatnya merasa tidak nyaman saat besar nanti.

Tiba-tiba, suara Aira membuyarkan lamunan Fira. "Bunda, nanti kalau aku besar, aku boleh pilih sendiri foto yang mau aku unggah, kan?"

Fira tertawa kecil dan mengangguk. "Tentu saja, Nak. Itu hakmu."

Aira tersenyum, lalu kembali bermain. Sementara itu, Fira merasa lega. Ia tahu, keputusannya dulu telah memberikan Aira kebebasan atas identitasnya sendiri---sesuatu yang tak bisa dibeli dengan jumlah like atau komentar di media sosial.***

Lain lagi cerita berikut!

Jejak Digital Tila

Tila menunduk di bangkunya. Suasana di ruang guru madrasah terasa begitu menekan. Ustazah Lina, guru akhlaknya, menatapnya dengan sorot mata penuh kecewa.

"Tila, kamu sudah besar. Kamu harus lebih berhati-hati dengan apa yang kamu bagikan di internet," ucap Ustazah Lina dengan nada lembut tapi tegas.

Tila mengangguk, meski hatinya masih bingung. Ia tidak merasa melakukan kesalahan. Foto yang diunggah gurunya di media sosial adalah fotonya saat kecil, ketika ia masih SD dan aktif sebagai atlet renang. Lalu, kenapa tiba-tiba ia dipanggil dan dimarahi karena foto itu?

Beberapa teman di kelas mulai berbisik-bisik sejak pagi. Rupanya, ada yang melihat fotonya dan menganggapnya tidak pantas. Kabar itu sampai ke guru-guru, dan sekarang ia harus menerima teguran guru. Sampai di rumah ia terlihat lesu dan saat ditanya malah nangis.

Esoknya, suara langkah berat terdengar. Pintu ruang guru terbuka. Ayah Tila datang dengan wajah merah padam.

"Apa maksudnya memarahi anak saya karena foto lama? Dia atlet renang sejak kecil! Itu foto saat lomba, bukan foto sembarangan!" suara Ayahnya tegas, membuat beberapa guru saling pandang.

Ustazah Lina tetap tenang. "Pak, kami memahami bahwa Tila adalah atlet renang. Tapi dunia sudah berubah. Sekarang, orang bisa mengambil foto dari internet dan menyalahgunakannya. Kami hanya ingin mengingatkan agar anak-anak lebih berhati-hati dalam bermedia sosial."

Ayah Tila terdiam. Ia menoleh ke putrinya, yang masih menunduk.

"Tila, kamu mengerti maksud Ustazah?" tanyanya, lebih lembut.

Tila mengangguk pelan. "Iya, Yah. Aku tidak bermaksud buruk, tapi aku juga tidak ingin orang lain melihatku dengan cara yang salah."

Ayahnya menarik napas panjang. "Baiklah," katanya, kini lebih tenang. "Tapi lain kali, tolong jangan langsung menuduh anak saya tanpa mendengar penjelasan lebih dulu."

Ustazah Lina tersenyum. "Kami hanya ingin menjaga mereka, Pak. Dunia digital ini sulit dikendalikan. Sekali sesuatu diunggah, kita tidak tahu ke mana perginya. Bahkan tak bisa dihapus"

Tila menggigit bibirnya. Ia sadar, meskipun tak ada niat buruk, jejak digitalnya tetap bisa diartikan berbeda oleh orang lain. Setelah ini, ia akan lebih berhati-hati.

Pelajaran berharga hari ini bukan hanya untuknya, tapi juga bagi Ayahnya—dan mungkin, bagi banyak orang tua lainnya.***

Sharenting  Apa Sih?

Sharenting adalah gabungan dari kata "sharing" dan "parenting", yang merujuk pada kebiasaan orang tua membagikan foto, video, atau informasi tentang anak mereka di media sosial.

Fenomena ini bisa berdampak positif, seperti mendokumentasikan momen berharga dan berbagi pengalaman dengan keluarga atau teman. Namun, ada juga dampak negatifnya berupa risiko, masalah privasi, pencurian identitas, atau eksploitasi data anak di internet.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan orang tua dalam sharenting di medsos:

Pertama, Tidak membagikan informasi sensitif (nama lengkap, alamat, sekolah anak).

Kedua, Memastikan anak setuju (jika sudah cukup besar).

Ketiga, Menggunakan pengaturan privasi yang ketat.

Keempat, Memikirkan dampak jangka panjang sebelum memposting sesuatu.

Fenomena Sharenting: Antara Dokumentasi dan Ancaman Privasi

Di era digital, media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Salah satu fenomena yang muncul adalah sharenting, yaitu kebiasaan orang tua membagikan foto, video, atau informasi tentang anak mereka secara daring.

Praktik ini dilakukan dengan berbagai alasan, seperti mendokumentasikan tumbuh kembang anak, berbagi kebahagiaan dengan keluarga, atau mencari dukungan dari komunitas sesama orang tua. Namun, di balik manfaatnya, sharenting juga menimbulkan berbagai risiko, terutama terkait dengan privasi dan keamanan anak di dunia maya.

Salah satu dampak positif dari sharenting adalah kemudahan dalam mendokumentasikan momen berharga anak. Dengan teknologi digital, orang tua dapat menyimpan dan membagikan kenangan yang dapat diakses kapan saja.

Selain itu, berbagi pengalaman parenting di media sosial dapat menjadi sarana edukasi dan dukungan bagi sesama orang tua yang menghadapi tantangan serupa dalam membesarkan anak.

Namun, di sisi lain, sharenting juga memiliki dampak negatif yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah risiko pelanggaran privasi anak. Informasi yang dibagikan secara daring dapat disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti pelaku kejahatan siber atau pencurian identitas anak. 

Selain itu, anak yang tumbuh besar mungkin merasa tidak nyaman dengan jejak digital yang telah dibentuk sejak mereka kecil tanpa persetujuan mereka. Hal ini dapat memengaruhi rasa percaya diri dan kebebasan mereka dalam membentuk identitas diri di masa depan.

Untuk menghindari dampak negatif sharenting, ada beberapa langkah bijak yang dapat diterapkan oleh orang tua. Pertama, orang tua harus mempertimbangkan apakah informasi yang akan dibagikan bersifat pribadi atau sensitif.

Hindari memposting data lengkap seperti nama lengkap, alamat rumah, atau lokasi sekolah anak. Kedua, gunakan pengaturan privasi yang ketat di media sosial agar hanya orang-orang terpercaya yang dapat melihat unggahan tersebut. Ketiga, jika anak sudah cukup besar, libatkan mereka dalam pengambilan keputusan sebelum 11 foto atau informasi tentang mereka.

Pada akhirnya, sharenting adalah sebuah pilihan yang harus dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Dokumentasi digital memang dapat menjadi kenangan berharga, tetapi privasi dan keamanan anak tetap harus menjadi prioritas utama.

Dengan sikap bijak dalam berbagi, orang tua dapat tetap menikmati manfaat teknologi tanpa mengorbankan hak anak atas privasi dan kebebasan mereka di dunia digital.

Jadi, sharenting bisa berbahaya jika tidak dilakukan dengan bijak. Orang tua perlu mempertimbangkan dampaknya dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi privasi dan keselamatan anak.

NiYu

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun