Tanpa Bintang di kelas, 40 menit pertama di hari pertama mereka sekolah kami lewati dengan semangat membara. Aku bersama siswa memulai ice breaking dengan senyum manis. Bertanya kabar mereka satu per satu. Bagaimana liburan mereka dan bagaimana kabar orang tua mereka.
Refleksi Diri
Kemudian puas ice breaking mereka diminta mengeluarkan 1 lembar kertas. Mereka mengerutkan dahi. "Star menulis perdana!" Seru salah satu dari mereka. Genta namanya.
Aku biarkan saja. Toh aku suka dengan siswa kritis seperti itu karena sejatinya pembelajaran bahasa Indonesia memang aku tekankan untuk menjadikan mereka memiliki beragam emosi.
Emosi senang, marah, kesal, sedih, simpati, peduli, dan semua itu harus dipancing. Keberanian, kesabaran, kejujuran, dan rasa percaya diri adalah emosi yang harus mereka miliki juga dalam pembelajaran ini agar kelak menjadi skill mereka dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara.Â
Keberanian untuk membantah, menjawab, menyela, mencoba, kesabaran menghadapi proses, kejujuran dalam berucap dan menuliskan apa yang mereka rasakan. Itu semua membuat mereka kelak percaya diri.Â
Mereka pun kelak siap untuk menerima kritik dan apresiasi dari siapapun. Semua itu akan menjadi fondasi penting bagi mereka, tidak hanya dalam pelajaran, tetapi juga dalam kehidupan mereka.
"Nomor 1. Tulislah berapa nilai Bahasa Indonesiamu di rapor pada semester 5 ini!"
"Hah... mudah pertanyaannya," jawab salah satu dari mereka. Kali ini Razik yang berujar.
Aku tersenyum ke arahnya. Lalu mengedarkan pandangan ke seluruh siswa. Nampak wajah-wajah ragu mereka. Tak lama mereka saling tanya jawab.
"Oke. Dalam hitungan 3 antar ke depan, Nak!" Akupun mulai menghitung mundur. 3 2 1. Mereka bersemangat lari ke depan. 4 siswa terlihat ragu. Mereka garuk-garuk kepala. "Kalau lupa, tulis saja lupa!" Seruku sambil menatap mereka.