Sementara itu, psikolog Dr. John Cacioppo menyarankan pentingnya memulai dengan langkah kecil, seperti menyapa orang asing atau berbicara dengan kolega. Tindakan sederhana ini dapat membuka jalan untuk hubungan yang lebih dalam di masa depan.
Bila Tak Ada Solusi yang Tepat Bisakah AI Menjadi Pilihan Mereka?
Belakangan ini, banyak seperti murid Bu Liana diatas mulai mengeksplorasi fitur-fitur terbaru seperti chatting dengan AI, baik melalui IG Story, status WhatsApp, maupun konten sejenis. Dengan semakin berkembangnya teknologi, tak jarang mereka berbagi pengalaman pribadi mereka tentang bagaimana mereka bisa berbicara dengan AI.Â
Pengguna merasa tertarik untuk mencoba karena kepraktisan dan kemudahan yang ditawarkan AI sebagai teman curhat yang tidak menghakimi, tidak menyalahkan, apalagi membully.
Selain mencoba fitur-fitur baru, ternyata banyak yang merasa bahwa curhat dengan AI kini menjadi pilihan utama mereka seperti Rika pada cerita di atas. Banyak yang merasa lebih nyaman berbicara kepada AI karena merasa tidak ada penilaian dan mendapatkan respon yang langsung. Respon sering kali penuh motivasi pula.
Bagi beberapa orang, curhat dengan AI mengurangi rasa kesepian atau bahkan membantu mereka lebih memahami perasaan sendiri. Hal ini juga dialami siswa Bu Liana yang awalnya merasa kesulitan belajar dan kesepian akibat dampak pembelajaran pasca pandemi.
Dengan bantuan AI, mereka tidak hanya merasa terbantu secara akademik tetapi juga seolah memiliki teman dekat yang selalu siap mendengarkan mereka. Namun, tentu saja AI tidak bisa menggantikan kehadiran teman sejati untuk mereka. AI juga kurang peka dan rasa. Inilah beda teman AI dengan teman manusia.
Teknologi AI memang semakin dekat dengan kehidupan sehari-hari mereka. Berbagai chatbot yang bisa diajak ngobrol atau curhat membuat mereka merasa bahwa teknologi ini telah menjadi bagian penting dari interaksi sosial. Dalam konteks pendidikan, seperti yang dilakukan Bu Liana, AI menjadi alat bantu belajar yang membuat siswa lebih percaya diri dan bersemangat.
Meski demikian, interaksi manusia nyata tetap memiliki nilai yang tak tergantikan. Namun, AI memberikan alternatif baru bagi mereka yang membutuhkan percakapan ringan atau dukungan cepat di tengah kesibukan atau keterbatasan sosial. Bila Tak Ada Solusi yang Tepat Bisakah AI Menjadi Pilihan Mereka? Tentu bisa.
Namun kedekatan anak dengan orang tua lebih disarankan  agar anak jangan berjiwa robot pula. Seperti uraian di atas, anak butuh dielus, dibelai, digenggam tangannya, ditatap matanya, diberi anggukan, disenyumi, bahkan dimarahi. Pendidikan emosional ini cuma bisa dicurhati oleh manusia dengan manusia.
Artinya, kontak curhat dengan AI sebatas solusi sementara. Namun curhat dengan manusia nyata. Bisa diikuti kontak fisik sebagai gestur kasih sayang, penguat perasaan, pencipta empati, dan simpati. Kita guru dan orang tua tak bisa digantikan AI dalam mengecas kasih sayang di dalam batin mereka. Hanya kita guru, orang tua, dan sahabat sejatilah yang bisa memberi rasa pada batin mereka guna mengusir sepi mereka.