"Slow Living di Tengah Hujan: Hangatnya Bubur Putih dan Kehangatan Tetangga"
Hidup slow living di rumah saja itulah pilihanku akhir tahun 2024 ini. Ya, seperti biasa sisa putra keduaku masuk perguruan tinggi di Semarang dan sisa wisuda putra pertamaku wisuda masih terasa. Fisik masih lelah. Uang tabunganpun menipis.
Wajar sih lelah. Pertengahan Agustus 2024 kami ke Semarang dalam waktu 6 hari bolak balik Semarang, Jakarta, Padang Panjang. Terus akhir Agustus selama 6 hari pula mempersiapkan wisuda, mengikuti wisuda si sulung, dan bolak balik lagi Jakarta, Padang Panjang.
Jatah cuti tahunan pun cuma 12 hari. Pas dah untuk kedua putra tercinta. Bolak-balik Jawa Sumatera tentu modalnya juga gede dong. Tambah biaya sewa kost, kebutuhan mereka di kost, dan kebutuhan persiapan wisuda. Habis dari Jawa lanjut bercengkrama indah penuh tawa bersama anak-anak muridku di sekolah.Â
Lelah pun hilang manakala mereka dengan semangat bertanya, " Bu guru ke mana aja. Cerita dong. Kami ikutin terus lo SW (status whatsUp) Bu guru." Antusias mereka. Alhamdulillah diberi Allah kemudahan sesuai janjinya dalam Surah Al-Insyirah: "Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan" (QS. Al-Insyirah: 6).
Meski habis-habisan tapi aku bersyukur, bisa memberikan pendidikan untuk anak pertamaku sarjana. Semoga Ibu di alam sana dan Ayah turut bangga karena aku anak sulung mereka juga mengikuti jejak ketangguhan mereka. Melahirkan cucu pertama sarjana untuk mereka. Allohummaghfirli wali-wali daiyya...
Maka untuk berhemat aku memutuskan slow living tahun ini di rumah saja. Slow living di rumah adalah caraku menikmati kesederhanaan dengan penuh kesadaran. Aku berusaha mengisi hari-hariku dengan hal-hal yang membuat hatiku tenang, seperti membaca platform favorit ini, menanam bunga di halaman kecil, menyeduh teh hangat sambil mendengar hujan.
Ya. Tanpa terburu-buru, aku menemukan kebahagiaan dalam rutinitas sederhana: memasak makanan dari bahan segar kacang panjang, merapikan rumah dengan cinta, dan menikmati waktu bersama keluarga kecilku. Aku, suami, dan si bungsu. Abang pertama dan kedua seperti ceritaku di atas masih di Jawa, Semarang dan Jakarta.
Di tengah dunia yang serba cepat, rumahku menjadi tempat perlindunganku untuk melambat, merenung, dan benar-benar menikmati hidup. Aku juga menulis di platform kesayanganku. Pun melambat karena lagi menikmati slow living.
Di kotaku saat ini lagi musim hujan pula. Hujan datang dengan deras disertai intensitas angin kencang dan udara pun terasa dingin menusuk. Hujan deras sering terdengar mengetuk jendela, membawa suasana syahdu yang mendorongku untuk lebih banyak berdiam di rumah.
Suasana ini tentu mengundang kenangan, menghadirkan kehangatan dari secangkir teh hangat, aroma sup hangat di dapur, dan waktu santai bersama keluarga. Meski cuaca terasa berat di luar, ada kedamaian yang bisa ditemukan di dalam, di balik selimut tebal dan kehangatan rumah. Suami dan si bungsu pun tenteram aja.
Sesekali kami tertawa saat membaca atau mengomentari pesan-pesan abang berdua nun di Jawa sana. Moga kalian berdua sukses, Nak. Itu salah satu pesan kami kepada mereka. Pengorbanan berpisah dari orang tua demi cita-cita mulia.Â
Saat angin dingin dan hujan deras mengguyur, suami mulai lapar. Beliau menggeledah dapur, mencari sesuatu yang hangat untuk mengusir rasa dingin. Ia membuka lemari, mengintip panci-panci, dan mengaduk isi kulkas dengan semangat seperti sedang berburu harta karun.
Melihat tingkahnya, aku hanya tersenyum dan segera menyiapkan semangkuk sup panas dan secangkir teh hangat. Dalam sekejap, aroma rempah menghangatkan dapur dan ekspresi puasnya saat menyantap makanan itu menjadi kehangatan tersendiri di tengah dinginnya cuaca.
Hujan deras yang disertai angin kencang memang membuat segala aktivitas di luar rumah terasa mustahil, termasuk mencari makanan dan buah segar. Tadi pagi saat hujan reda sebentar, aku hanya bisa mampir di bank. Keluar dari bank, hujan deras mengguyur. Tak sempat aku menyapa pedagang buah, sayur, dan ayam kesukaan si dedek.
'Moga Allah memberi rezki pedagang dari pintu lain hari ini.' Doaku dalam hati. Hari ini Senin, hari pasar di kota kami. Namun takdir berkata lain. Seharian ini hujan deras. Akupun mampir ke salah satu restoran. Aku beli satu bungkus nasi seharga Rp27.000. Sungguh dasyat kenaikan harga saat ini. Dari Rp20.000 sekarang bertahta di Rp27.000.
Akhirnya kami hanya bisa pasrah hari ini mengandalkan apa yang ada di dapur, memutar otak mengolah bahan seadanya menjadi hidangan penghangat tubuh. Tak ada pilihan untuk keluar karena hujan begitu rapat. Hanya suara hujan dan angin yang menjadi teman kami.
Usai menikmati sebungkus nasi bertiga, sup hangat dan teh hangat, sore ini rasa lapar terasa lagi. Rasa lapar mendorong kreativitas untuk menciptakan kehangatan lain dari sisa-sisa stok yang ada di dapur. Meski sederhana, momen ini menjadi pengingat bahwa kehangatan tak selalu harus dicari jauh-jauh di luar.
Tiba-tiba aku teringat masakan khas dadakan Mamaku, bubur putih, makanan sederhana yang selalu menghangatkan hati. Di dapur, aku punya tepung beras, gula aren, gula pasir dan cukup untuk membuatnya manis dan legit.
Namun, sayangnya, santan tak tersedia, bahan penting yang membuat bubur itu terasa lebih lezat dan manis alami. Tanpa pikir panjang, aku segera membuka ponsel dan mengirim chat ke kedai kecil milik Si Eng, tetanggaku. Ia siap online selalu. Kedai yang sering menyediakan bahan makanan darurat.
Pesanku sederhana saja: "Eng, 1 kara santan, 2 popmie, 3 butir telur." Setelah beberapa saat, Si Eng membalas dengan ramah,"Oke. Popmie sisa 1 Na!" Sambil memastikan stok tersedia di tengah hujan deras yang membuat semua terasa lebih sulit si Eng membalas pesanku.
"Boleh diganti Eng dengan yang lain." Jawabku. Rasanya lega mengetahui bantuan kecil seperti ini ada di dekatku. Sambil menunggu, aku mulai mempersiapkan apa yang bisa kukerjakan dulu. Aku membayangkan aroma bubur yang akan segera memenuhi rumah, menandingi dinginnya hujan di luar.
Ketika aku menyiapkan bahan di atas, Alif anak Eng tetanggaku mengetuk pintu, "Ante! Ante! Panggilnya. Akupun keluar dari dapur menuju ruang depan.
"Berapa Alif?"
"Dua puluh ribu, Nte. Jawabnya.
" Lif, mamamu suka ikan kering?"Tanyaku.
"Suka Nte. Jawab Alif.
Akupun memberikan 1 bungkus ikan kering itu kepada Alif. Ikan kering di dapur banyak oleh-oleh saudara dari kampung. Setelah Alif pergi aku lanjut ke dapur.
Aku memasukkan separuh santan ke dalam adonan tepung dan menambahkan 3 sendok makan gula pasir, dan 4 gelas air putih. Diaduk hingga santan, gula, tepung, dan air merata. Tak ada tepung menggumpal lagi baru dijerangkan. Begitu Mama dan Ibu mertuaku mengajari dulu.
Nah, bubur putih ala slow living di tengah derasnya hujan dan kehangatan tetangga sudah bisa kita nikmati. Sekarang yuk kita bahas yang tersisa. Slow Living.
Slow Living dan Sejarahnya
Slow living adalah gaya hidup yang menekankan pada hidup yang lebih lambat, sadar, dan penuh perhatian. Filosofi ini menolak pola hidup serba cepat yang kerap melelahkan dan merampas momen-momen kecil yang berharga.
Slow living mengajak kita untuk menikmati kehidupan secara mendalam, lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas, dan menemukan kebahagiaan dalam hal-hal sederhana seperti momen berbagi dengan tetangga, dengan suami, dan membuat kudapan sederhana tanpa beban.
Sejarah Slow Living
Asal-usul slow living dapat ditelusuri ke gerakan Slow Food yang lahir di Italia pada tahun 1986. Gerakan ini dimulai oleh Carlo Petrini sebagai bentuk protes terhadap pembukaan restoran cepat saji McDonald's di dekat Spanish Steps, Roma.
Petrini dan para pendukungnya mengkritik bagaimana makanan cepat saji melucuti budaya lokal, nilai tradisional, dan kenikmatan makan. Mereka mendorong masyarakat untuk kembali menikmati makanan yang dimasak perlahan, menggunakan bahan lokal, dan merayakan tradisi kuliner.
Keberhasilan gerakan Slow Food memicu lahirnya filosofi serupa di aspek kehidupan lain, seperti pekerjaan, pendidikan, perjalanan, dan hubungan sosial, yang kemudian dikenal sebagai gerakan Slow Living.
Pada intinya, slow living mendorong masyarakat untuk melawan tekanan dunia modern yang serba instan, seperti budaya kerja berlebihan atau konsumerisme tanpa henti. Sebab semua itu bisa membuat lelah secara instan pula, stres, dan gangguan mental. Seiring waktu slow food pun dibarengi slow living.
Prinsip-Prinsip Slow Living
1. Kesadaran Penuh (Mindfulness)
Menikmati setiap momen tanpa terburu-buru, itulah esensi dari slow living yang kucoba terapkan dalam liburan kali ini. Alih-alih pergi jauh, aku memilih untuk tetap di rumah, menikmati waktu dengan memasak hidangan sederhana dan makan dengan perlahan, tanpa merasa terburu-buru.
Setiap detik terasa lebih bermakna saat aku bisa fokus pada kebahagiaan yang ada di sekitar, seperti meluangkan waktu untuk shalat dhuha, merasakan kedamaian dalam ibadah, serta menyelesaikan urusan-urusan kecil yang tetap penting, seperti ke bank.
Meskipun melambat, aku sadar bahwa kebahagiaan tak harus datang dari kesibukan atau perjalanan jauh. Slow living mengajarkan bahwa kita bisa tetap menjalani standar hidup yang bahagia dengan memilih untuk menikmati setiap aktivitas, sekecil apapun itu.
Bahkan dalam kesederhanaan, ada kepuasan yang tak ternilai dan dengan meluangkan waktu untuk diri sendiri, kita justru mampu merasa lebih penuh berarti dan lebih hidup.
2. Koneksi yang Mendalam
Membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain dan alam sekitar adalah salah satu nilai utama dalam slow living. Kadang, kebahagiaan datang dari hal-hal sederhana, seperti berbagi dengan tetangga. Meski hanya sebungkus ikan kering yang bisa diberikan. Itu menjadi bentuk perhatian kecil yang menghangatkan hubungan kami.Â
Berbagi tak harus selalu dalam bentuk yang besar, namun keikhlasan dan perhatianlah yang menjadikan setiap pemberian terasa lebih berarti. Juga selalu memastikan untuk meninggalkan catatan belanja di kedai tetangga, sebuah cara kecil untuk menunjukkan rasa terima kasih dan menjaga hubungan baik.
Ini bukan hanya tentang transaksi, jangan bandingkan harga di kedai kecil itu dan di pasar tetapi tentang saling mendukung dan menghargai keberadaan satu sama lain di lingkungan yang lebih besar. Dengan cara ini, meskipun hidup melambat, hubungan yang kita bangun dengan orang-orang sekitar tetap menjadi bagian penting guna meraih bahagia dari kecil pada kebahagiaan yang lebih besar.
Menjaga keseimbangan antara kerja, waktu pribadi, dan keluarga adalah kunci untuk hidup yang lebih tenang dan bermakna. Kita berusaha untuk tidak terbawa oleh tuntutan pekerjaan yang kadang membuat lupa diri. Selalu menyisihkan waktu untuk diri sendiri serta orang-orang terdekat sangat penting.Â
Saat bekerja, fokus dan memberi yang terbaik untuk pekerjaan. Begitupun ketika waktunya untuk istirahat atau berkumpul dengan keluarga, benar-benar memanfaatkannya tanpa gangguan. Dengan begitu, kita akan merasa lebih terisi dan berharga.Â
Tempatkan diri kita baik secara profesional maupun pribadi. Keseimbangan ini memberi rasa damai dalam menjalani kehidupan sehari-hari kita. Nikmat Tuhanmu mana lagi yang kamu dustakan? Tanya Allah dalam Surah Ar Rahman.
4. Simplicity
Hidup sederhana dan hanya berfokus pada hal-hal yang benar-benar penting saja.
Hidup sederhana adalah pilihan untuk mengurangi kebisingan sehingga fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Kita belajar untuk tidak terjebak dalam hiruk-pikuk konsumsi dan keinginan yang tak ada habisnya.
Melainkan kita lebih menekankan pada kualitas, bukan kuantitas. Setiap hari, berusaha untuk mengutamakan apa yang memberi makna ketika waktu dengan keluarga. Dengan menyederhanakan hidup, kita akan merasa lebih bebas, lebih tenang, dan lebih dekat dengan tujuan hidup yang sesungguhnya.
Slow Living di Era Modern
Di tengah dunia digital yang serba cepat, slow living menjadi respons terhadap meningkatnya stres dan kecemasan akibat budaya produktivitas. Banyak orang kini mempraktikkan slow living dengan:
Mengurangi waktu layar atau digital detox telah menjadi bagian penting dalam upaya untuk menjaga keseimbangan hidup. Kita hsrus mulai sadar bahwa terlalu lama terhubung dengan perangkat digital bisa menguras energi dan mengalihkan perhatian dari hal-hal yang lebih bermakna seperti memperhatikan anak-anak dan suami.
Jangan sampai ditegur oleh orang di sekitar kita. Dengan membatasi penggunaan ponsel dan komputer, kita telah memberi ruang untuk menikmati momen nyata, seperti berbincang dengan keluarga, membaca buku, atau menikmati alam sekitar.
Digital detox membantu kita untuk kembali fokus pada diri sendiri dan hubungan dengan orang-orang terdekat agar menjadikan hidup terasa lebih penuh dan seimbang.
Pilihlah pekerjaan yang memberikan makna lebih dari sekadar upah bila bisa memilih. Ini adalah keputusan yang perlu kita ambil untuk menjalani hidup dengan tujuan yang lebih dalam. Kita musti percaya bahwa kebahagiaan sejati tidak hanya datang dari gaji yang diterima, tetapi juga dari rasa puas dan bangga atas apa yang kita kerjakan.
Ketika pekerjaan itu memberikan dampak positif bagi orang lain atau kita merasa terhubung dengan tujuan yang lebih besar, setiap tantangan dalam pekerjaan menjadi pelajaran mental yang lebih bermakna.Â
Dengan demikian, kita tidak hanya mencari keberhasilan materi, tetapi juga kepuasan batin yang datang saat berkontribusi pada sesuatu yang lebih penting untuk orang sekitar. Bukan hanya untuk diri sendiri.
Mengadopsi konsep minimalisme.
Slow living bukan berarti meninggalkan teknologi atau kemajuan, melainkan tentang menggunakan keduanya dengan bijak dan mampu hidup dengan lebih seimbang. Gaya hidup ini mengajarkan bahwa melambat bukanlah tanda tertinggal, tetapi sebuah pilihan untuk hidup dengan kesadaran penuh.Â
Selain menghargai setiap momen, dan menemukan kebahagiaan dalam kesederhanaan. Dengan meluangkan waktu untuk diri sendiri dan orang-orang terdekat, kita dapat menjalani hidup yang lebih bermakna, tanpa terjebak dalam ritme kehidupan yang terlalu cepat dan bikin stres.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H