Utang Pesta Pernikahan: Bahagia di Pelaminan, Sengsara di Tagihan
Pernikahan memang sering kali dianggap sebagai salah satu momen paling sakral dan berharga dalam hidup seseorang. Di Indonesia, pesta pernikahan kerap menjadi ajang untuk menunjukkan rasa syukur, mempererat hubungan keluarga, sekaligus memamerkan kemegahan pesta kepada tamu undangan.
Namun, di balik gemerlapnya lampu pelaminan dan sukacita yang terlukis di wajah pengantin, banyak pasangan muda menghadapi kenyataan pahit: tumpukan utang yang melilit akibat pesta yang terlalu mewah.
Yah, masih terbayang ketika aku menikah 23 tahun lalu. Tepatnya November 2000. Kebiasaan di kampungku. Ada namanya uang mahar buat jemputan. Waktu itu harga emas 300 rb per emasnya. Calonku butuh uang 3 juta untuk memberi mahar. Mahar seberat 25 gram emas.
Akupun membantunya meminjam uang kepada kakak senior 3 juta. Alhamdulillah sukses. Dapat pinjaman. Namun, masalah muncul pada saat jatuh tempo. Tagihan hutang dari kakak senior datang. Aku terpaksa menjual mahar itu. Rasanya mahar itu hanya manipulasi publik.
Budaya Prestise dalam Pernikahan
Budaya kita masyarakat Indonesia sering kali menjadikan pernikahan sebagai simbol status sosial di tengah keluarga besar. Semakin besar mahar dan pesta yang digelar, semakin tinggi pula status keluarga itu.
Apresiasi yang diberikan oleh lingkungan sosial pun heboh. Sayangnya, tekanan ini tidak jarang membuat calon pasangan atau keluarganya memaksakan diri dengan meminjam uang demi memenuhi ekspektasi calon besannnya dan keluarganya sendiri.
Padahal, realitas setelah hari pernikahan tidak semewah hari H itu. Pasangan stelah pernikahan harus menghadapi kehidupan rumah tangga yang memerlukan biaya besar, seperti kebutuhan sehari-hari, tempat tinggal, transportasi, dan tabungan masa depan.
Jika beban finansial sejak awal sudah berat karena hutang, hubungan suami-istri pun bisa terancam. Baru menikah serasa mau bercerai saja karena menikah ternyata tak seindah foto keluarga bahagia di majalah-majalah.