Rendang Terakhir di Tanah Rantau
Mentari baru saja terbenam ketika Fina memasukkan koper terakhir ke bagasi mobilnya. Ia menghela napas panjang lalu menatap halaman rumah yang sudah tak lagi asing baginya. Namun tetap terasa berbeda hari ini.
Besok, ia akan kembali ke perantauan. Kota yang berjarak ribuan kilometer dari tanah kelahirannya, Minangkabau tacinto. Ada satu hal yang terasa belum lengkap hari ini. Aroma dapur belakang membuatnya tersenyum tipis.
"Fina, mari makan dulu. Nanti dingin rendangnya," panggil Mak dari balik pintu.
Rendang, makanan yang penuh kenangan bagi Fina. Sejak kecil, ia sering duduk di pojok dapur. Ia menyaksikan ibunya memasak rendang untuk acara adat.
Kala itu, Fina belum mengerti betul mengapa ibunya memerlukan waktu seharian penuh untuk memasak satu panci rendang. Prosesnya panjang, melelahkan, dan melewati tiga tahap.
Namun, saat kini ia mulai dewasa dan sudah merantau. Rasa rindunya pada rumah seringkali terselip dalam aroma rendang yang pekat. Dalam setiap gigitan, Fina selalu merasa kembali ke masa kecilnya.Â
Ia berlarian di halaman rumah, bersenda gurau bersama keluarga, dan menikmati sepotong rendang yang dimasak dengan penuh kesabaran oleh Maknya.
Saat Fina melangkah masuk ke dapur, aroma rendang menguar. Aroma itu menghangatkan seluruh ruangan. Mak tengah mengaduk rendang dengan hati-hati. Beliau memutar sendok kayu perlahan agar tidak hangus.
Di atas kompor kecil dengan api yang menyala-nyala kecil, Mak sudah memasak sejak pagi. Kini rendang itu mulai menghitam, tandanya hampir matang dan selesai.
"Fina, bawalah rendang ini. Di perantauan nanti, kau ingatlah rumah," ujar Mak lembut.