Pendidik Bukan Perantara
Menghadapi Tekanan demi Masa Depan Anak Didik
Di suatu sekolah menengah pertama di kota kecil, Bu Ina, seorang guru bahasa Inggris sekaligus wali kelas 9C1 sedang mengumpulkan semangat untuk menghadiri rapat mingguan dengan kepala sekolahnya.Pak Ferdi.
Dalam beberapa bulan terakhir ini, ia mulai merasa seperti tak lebih dari sekadar alat di sekolah itu. Ia merasa diperalat. Pak Ferdi seolah lebih memperlakukannya sebagai perantara.
Ia seperti seorang yang ditugaskan meminta uang tambahan dari orang tua muridnya. Â Alih-alih menjadi pendidik sejati, ia malah merasa seperti petugas kredit bersepeda.
Saat rapat dimulai, Pak Ferdi langsung menyampaikan keluhannya. "Bu Ina, minggu lalu saya dapat laporan bahwa Anda masih belum mengumpulkan iuran kelas dari orang tua murid," katanya tanpa basa-basi. Bu Ina menunduk sejenak, ia berusaha menenangkan diri sebelum menjawab.
"Pak, saya sudah bicara dengan beberapa orang tua. Mereka sedang  kesulitan keuangan saat ini. Bahkan bebe1rapa walimurid keberatan dengan iuran tambahan kita karena kondisi ekonomi mereka sekarang. Saya kira kita bisa mencari alternatif lain, Pak!"
Namun, Pak Ferdi tampak tak mendengarkan. "Kita butuh dana itu untuk perbaikan fasilitas sekolah. Kalau ada keluhan, orang tua bisa langsung datang ke saya, buktinya tak ada tuh yang datang," ucapnya.
Tetapi Bu Ina tahu betul bahwa kepala sekolah lebih sering menghindari pertemuan langsung dengan orangtua murid. Baginya, lebih mudah menyerahkan urusan ini pada para wali kelas saja.
Di sela-sela rapat, Bu Ina menyampaikan ide-ide baru untuk kegiatan kelas dan permintaan tambahan alat bantu belajar. Namun, Pak Ferdi hanya mendengus, "Yang penting, Anda fokus saja pada tugas mengajar. Urusan dana BOS, pembangunan, dan lainnya, biar saya dan pihak lain yang urus."
Bu Ina pulang dengan hati berat hari itu. Ia tahu, ia gagal. Perannya sebagai guru bukan sekadar memberi materi pelajaran saja. Namun, dalam sekolah itu, ia sering kali merasa diabaikan dan dipinggirkan.
Ia sering dijadikan perantara dalam setiap kebijakan yang mungkin tak disukai orangtua muridnya. Yang menghadapi orangtua mereka pendidik. Bukan kepala sekolah. Ia dan teman-teman faham kondisi orangtua murid.
Di tengah perjalanan pulang, Bu Ina bertanya pada dirinya sendiri, sampai kapan ia harus bertahan? Kapan perannya sebagai guru akan dihargai bukan hanya sebagai perantara peminta uang tetapi sebagai pendidik yang berhak ikut berpendapat?
Setelah pulang dari rapat, Bu Ina merenungkan perasaannya. Setiap hari, ia berusaha memberikan yang terbaik untuk siswa-siswinya. Namun, di sekolah itu, seolah-olah dedikasinya tidak dihargai lagi.Â
Ia merasa terjebak dalam sistem yang lebih memprioritaskan keuntungan daripada pendidikan. Bila kelasnya mengumpulkan uamg banyak, ia akan disanjung. Tapi bila gagal, nasibnya seperti hari ini.
Hari berikutnya, saat pelajaran berlangsung, Bu Ina melihat anak-anak di kelasnya dengan penuh harapan. Mereka generasi penerus yang perlu mendapatkan pendidikan terbaik, bukan sekadar alat untuk mengumpulkan uang.
Namun, ia juga bisa melihat keraguan di wajah mereka, mungkin akibat dari tekanan yang ditimbulkan oleh masalah keuangan yang terus-menerus dipindahkan kepada mereka.
Bu Ina memutuskan untuk berbicara dengan teman-teman guru lainnya tentang situasi ini. Dalam sebuah pertemuan kecil di ruang guru, ia mengungkapkan kekhawatirannya. "Kita seharusnya bisa mengajukan ide untuk meningkatkan kualitas pendidikan, bukan hanya jadi perantara untuk urusan keuangan," katanya.
Namun, beberapa guru lainnya tampak ragu. "Kita sudah diberi tahu untuk tidak melawan kebijakan kepala sekolah. Jika kita berseberangan, posisi kita bisa terancam," jawab salah satu rekan guru.
"Ya, nama kita bisa diganti." Jawab rekan lainnya. Bu Ina merasakan kepahitan. Ia merasa sendiri. Kenapa harus takut untuk menyuarakan pendapat demi kepentingan siswa?
Ia tidak ingin terus menjadi alat untuk meminta uang, apalagi saat mendengar keluhan orang tua murid yang juga merasa terbebani. Dalam hatinya, ia bertekad untuk memperjuangkan haknya sebagai guru, meski harus menghadapi risiko.
Bertindak
Satu minggu kemudian, saat ada rapat orangtua, Bu Ina mengambil langkah berani. Ia berbicara di depan orangtua, menjelaskan betapa pentingnya kolaborasi antara sekolah dan keluarga untuk pendidikan anak-anak mereka. Ia juga menyampaikan aspirasi dan kebutuhan yang lebih besar untuk kegiatan pembelajaran yang bermanfaat.
"Kita perlu mendukung satu sama lain agar anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang terbaik, bukan hanya dalam hal uang, tetapi juga dalam pengalaman dan kesempatan," katanya tegas.
Kepala sekolah tampak terkejut dengan keberanian Bu Ina dan beberapa orangtua mulai bertepuk tangan. Perlahan-lahan, suasana di ruang rapat berubah dan beberapa orangtua mulai berbagi pendapat mereka.
Mereka mendukung ide-ide Bu Ina. Mereka mengusulkan cara-cara untuk mengumpulkan dana secara kreatif dan berkelanjutan, seperti mengadakan bazar atau kerja sama dengan komunitas lokal.
Mendengar dukungan tersebut, Bu Ina merasa ada harapan. Meskipun tantangan masih ada. Namun langkah kecil itu membuktikan bahwa suara guru dan orangtua bisa bersatu demi kepentingan siswa.Â
Keesokan harinya, saat berjalan ke kelas, Bu Ina merasa lebih bersemangat. Ia tahu bahwa menjadi guru bukan hanya tentang mengajar di kelas, tetapi juga memperjuangkan hak-hak pendidikan yang layak bagi semua siswa.
Meskipun jalan masih panjang, Bu Ina yakin bahwa perubahan bisa terjadi jika semua pihak bersatu dan menghargai peran masing-masing. Dengan hati yang penuh harapan, ia siap menghadapi tantangan baru di depan, demi masa depan anak-anak yang ia cintai.
Para orangtua dan gurupun melakukan beberapa usaha kreatif untuk mengumpulkan dana tanpa membebani per individu terlalu berat:
1. Bazar Sekolah
Mereka mengadakan bazar dengan berbagai produk seperti makanan, kerajinan tangan, atau barang-barang bekas layak pakai. Orangtua pun menyumbangkan barang, sementara siswa dan guru turut terlibat dalam menjualnya.
2. Jualan Makanan atau Minuman
Orangtua bergotong-royong menjual makanan atau minuman di lingkungan sekitar atau saat ada acara sekolah. Misalnya, mereka dapat menjual kue, minuman tradisional, atau snack unik dengan pembagian hasil untuk dana sekolah.
3. Pengumpulan Barang Daur Ulang
Orangtua mengumpulkan barang bekas seperti kertas, kardus, atau botol plastik yang kemudian dijual ke tempat daur ulang. Ini juga sekaligus menjadi edukasi tentang kepedulian lingkungan bagi muridnya.
4. Kerja Sama dengan UMKM Lokal
Kerja sama dengan usaha kecil lokal, seperti rumah produksi kue atau kerajinan, untuk menjual produk dengan sistem bagi hasilpun dijalin. Selain membantu sekolah, ini bisa mempererat hubungan dengan komunitas lokal.
5. Lomba Kreatif atau Pertunjukan Seni
Mereka pun mengadakan acara lomba kreatif atau pertunjukan seni yang melibatkan siswa dan masyarakat setempat. Pentas drama, musik, dan tari. Tiket masuk atau donasi dari acara ini digunakan sebagai dana tambahan.
6. Donasi atau Crowdfunding Lokal
Mereka pun membuat program donasi sukarela dari orang tua atau crowdfunding dengan melibatkan masyarakat lebih luas, terutama karena dana untuk perbaikan yang dibutuhkan cukup besar.
7. Jualan Merchandise Sekolah
Membuat merchandise sekolahpun  seperti kaos, gantungan kunci, atau stiker, yang bisa dibeli oleh siswa, orang tua, dan masyarakat dilakukan. Selain menambah dana, merchandise ini juga membangun rasa bangga terhadap sekolah.
8. Layanan Kebersihan Lingkungan atau Kebun Sekolah
Karena ada lahan, orangtua bersama siswa membuat kebun kecil yang hasil panennya dijual. Selain dana, kegiatan ini juga menjadi pembelajaran praktis bagi siswa bidang pertanian.
Dengan pendekatan yang kreatif dan kolaboratif, para orang tua bisa membantu memenuhi kebutuhan dana tanpa menambah beban langsung yang signifikan.
Upaya penggalangan dana yang diadakan sekolah akhirnya menjadi viral. Banyak jurnalis yang meliput kegiatan tersebut. Setelah rangkaian acara bazar,  pertunjukan seni, dan kegiatan lain  yang diselenggarakan berhasil menarik perhatian masyarakat.Â
Keunikan dan semangat kebersamaan yang terpancar dari acara tersebut memicu rasa simpati dari berbagai pihak, termasuk warga masyarakat yang berada di rantau. Melalui media sosial, para alumni, dan warga setempat yang merantau di luar kota kecil itu, bahkan dari luar negeri turut tergerak memberikan sumbangan.
Dengan bantuan tersebut, terkumpullah dana yang jauh lebih besar dari target awal. Dukungan dari rantau ini bukan hanya memberi manfaat secara materi, tetapi juga mempererat ikatan antara sekolah dan komunitasnya, menguatkan harapan bahwa pendidikan anak-anak di sekolah tersebut dapat semakin maju dengan bantuan dari seluruh penjuru.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H