Raka terdiam sejenak. Ia seperti mencoba merangkai kata-kata yang tepat.
"Saya mau bilang, makasih, Bu. Soal waktu itu... waktu Ibu minta maaf di depan kelas... itu bikin saya mikir banyak hal."
"Hal apa?" tanya Bu Rina lembut, meski dalam hatinya ia merasa tak yakin akan arah pembicaraan ini.
Raka menghela napas, "Dulu saya sering ngerasa kalau guru itu cuma ada buat ngasih nilai, marah-marah, atau nyuruh-nyuruh. Tapi sejak Ibu mulai berubah, saya jadi sadar kalau guru itu juga manusia, sama kayak kami. Ia bisa bikin salah. Ia juga bisa capek. Waktu Ibu minta maaf, saya tahu kami juga harus lebih paham Ibu."
Bu Rina tertegun mendengar pengakuan itu. Ada kehangatan yang merayap dalam hatinya. "Kamu tahu, Raka," katanya, "belajar itu bukan hanya tentang kalian, tapi juga tentang kami, para guru. Kalian mengajarkan kami bagaimana caranya menjadi lebih baik setiap hari."
Raka tersenyum kecil. "Iya, Bu. Saya rasa, sekarang saya lebih hormat ke Ibu. Bukan karena saya takut, tapi karena saya percaya Ibu peduli sama kami."
Bu Rina hampir tak mampu menahan haru yang meluap. Ia langsung melow. Perubahan ini terasa nyata. Ia sadar, rasa hormat itu memang tidak bisa dipaksakan. Itu harus ditumbuhkan dengan kejujuran, dengan empati, dan dengan keinginan untuk mendengar.
Sebelum Raka beranjak pergi, Bu Rina berkata, "Terima kasih, Raka. Kamu sudah mengingatkan Ibu sesuatu yang penting. Kita semua belajar bersama di sini dan Ibu bangga pada kamu."
Saat Raka keluar dari kelas, Bu Rina menatap jendela. Hati kecilnya sekarang merasa ringan. Hari ini ia merasa bukan hanya sebagai guru yang telah berhasil mengajarkan sesuatu, tetapi juga sebagai manusia yang belajar untuk terus berubah, bersama anak-anak yang mempercayainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H