Adakah Pengaruh Kostum Siswa yang Tidak Disiplin terhadap Premanisme dan Tindak Kekerasan di Sekolah?
Kedisiplinan merupakan salah satu alat dan pilar utama dalam membentuk karakter siswa di sekolah. Namun, seringkali kita melupakan betapa pentingnya aturan-aturan kecil ini. Termasuk dalam hal cara berpakaian anak ke sekolah.
Masih segar dalam ingatanku ketika aku sekolah dasar. Teman-temanku yang cowok tak bertas ke sekolah. Mereka cuma bawa satu buku isi 18 lembar ke sekolah. Buku itu diselipkan saja di celana belakang dengan baju seragam keluar.
Cara berpakaian sebenarnya menjadi cerminan disiplin diri siswa. Pengabaian aturan tentang kostum ini bisa menjadi celah awal yang berpotensi menumbuhkan sikap premanisme dan tindak kekerasan di kalangan siswa.
Kasus ini yang terjadi di sebuah kelas. Mereka satu circle berlomba memakai jaket, hoodie, dan sweater di kelas. Beberapa siswa mengenakan jaket tanpa lengan. Aksesoris mereka kalung besi, gelang besi dan tali berwarna hitam. Dilengkapi cincin besi sebagai bagian dari penampilan mereka.Â
Ini jelas menunjukkan pelanggaran kedisiplinan dalam berpakaian. Melanggar karena penampilan semacam ini tidak hanya melanggar aturan tetapi juga memberikan sinyal yang salah.
Pakaian seperti jaket yang dipakai secara tidak sesuai atau aksesoris berlebihan bisa menjadi simbol pemberontakan dan ketidakpatuhan terhadap norma-norma yang berlaku di sekolah.
Hal ini kemudian dapat memicu sikap agresif atau tindak kekerasan. Seperti yang terlihat pada kasus-kasus ditempat lain, siswa sengaja membawa cincin besi untuk digunakan sebagai alat pemukul lawan.
Lebih jauh lagi mereka sering memperlihatkan sikap menantang. Sikap yang ditunjukkan siswa ketika mereka ditegur, jangan memakai cincin, gelang, dan jaket ke sekolah.
Dengan lantang siswa bersangkutan berkata, "Mana peraturannya? Siapa yang melarang?"Â
Duh, tentu guru itu merasa jantungan. Tangan berair. Keringat dingin mengucur di keteknya.
Terlihat benar contoh dari kurangnya penghargaan siswa terhadap otoritas sekolah. Sikap ini bisa menjadi akar dari perilaku premanisme. Siswa merasa bebas bertindak sesuka hati tanpa konsekuensi.
Ketika aturan kecil seperti larangan penggunaan jaket atau aksesoris tidak ditegakkan, siswa bisa merasa tidak ada batasan lagi. Jika tak ada batasan lagi hingga perilaku negatif seperti kekerasan semakin berkembang.
Premanisme di sekolah sering kali bermula dari ketidakteraturan yang dibiarkan tanpa sanksi. Bisa dimulai dari kostum, berkembang menjadi bentuk-bentuk pelanggaran yang lebih serius lagi.
Oleh karena itu, perlu adanya ketegasan dari pihak sekolah. Termasuk guru, wakil, dan seteakholder sekolah untuk memastikan bahwa aturan dipatuhi oleh seluruh siswa. Penegakan aturan berpakaian yang disiplin merupakan langkah awal untuk mencegah berkembangnya sikap premanisme dan tindak kekerasan di sekolah.
Dalam hal ini, sekolah tak boleh berperan sebagai ajang "fashion show," melainkan sebagai tempat untuk mendidik siswa agar memiliki sikap yang tertib dan disiplin. Dengan demikian, menjaga kerapihan dan kesesuaian kostum bukanlah sekadar masalah estetika.
Tapi menjaga kostum sesuai aturan sebagai bagian dari pendidikan karakter yang membentuk siswa menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab dan menghargai aturan. Bila mereka menghargai aturan, mereka pun menghargai guru.
Kedisiplinan dalam hal sekecil apa pun, termasuk dalam hal berpakaian, memiliki dampak besar dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan kondusif.Â
Oleh karena itu, sekolah perlu tegas dalam menegakkan aturan yang ada, demi mencegah berkembangnya budaya premanisme dan tindak kekerasan di kalangan siswa.
Untuk mengatasi masalah premanisme dan kekerasan yang berawal dari pelanggaran disiplin berpakaian di sekolah, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan tegas.Â
Berikut beberapa solusi yang dapat diterapkan:
1. Penegakan Aturan yang Konsisten
Aturan berpakaian di sekolah harus ditegakkan secara konsisten dan tidak pilih kasih. Semua siswa harus diberi pemahaman yang jelas mengenai aturan seragam dan aksesoris yang boleh dan tidak boleh digunakan.
Guru dan pihak sekolah harus memiliki standar yang sama dalam penegakan disiplin.
2. Sosialisasi Nilai-Nilai Disiplin Sejak Dini
Penting bagi sekolah untuk mengajarkan nilai-nilai disiplin kepada siswa sejak dini. Dengan demikian, siswa tidak hanya memahami aturan tetapi juga menyadari pentingnya mematuhi aturan tersebut.Â
Pembinaan karakter ini bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan sekolah seperti upacara, orientasi siswa baru, dan kelas-kelas kewarganegaraan.
3. Pengawasan Lebih Ketat di Lingkungan Sekolah dan Asrama
Guru, staf, dan pembimbing asrama perlu lebih proaktif dalam mengawasi penampilan siswa, terutama saat mereka berada di lingkungan sekolah dan asrama.
Pengawasan ini tidak harus bersifat represif, tetapi lebih pada memberikan arahan yang mendidik dan mengingatkan siswa tentang pentingnya kerapihan dan kepatuhan terhadap aturan.
4. Pemberian Sanksi yang Tegas dan Edukatif
Sanksi yang tegas namun edukatif perlu diterapkan untuk siswa yang melanggar aturan berpakaian. Misalnya, siswa yang terbukti melanggar aturan berpakaian bisa diberikan tugas sosial, seperti membersihkan lingkungan sekolah atau memberikan presentasi tentang pentingnya disiplin di hadapan teman-teman mereka. Dengan cara ini, sanksi juga berfungsi sebagai pembelajaran.
5. Peningkatan Kerjasama Orang Tua
Pihak sekolah perlu menjalin kerjasama yang lebih baik dengan orang tua. Sosialisasi mengenai aturan disiplin, termasuk aturan berpakaian, harus diberikan secara jelas kepada orang tua, agar mereka juga turut mengawasi dan mendukung penerapan aturan di rumah.
6. Kegiatan Pembinaan dan Konseling bagi Siswa
Siswa yang sering melanggar aturan perlu mendapatkan perhatian khusus. Mereka dapat dibina melalui kegiatan konseling atau pembinaan karakter secara rutin.
Melalui dialog, guru bimbingan konseling bisa menggali penyebab perilaku mereka dan memberikan solusi yang lebih tepat sesuai kebutuhan.
7. Penghargaan Bagi Siswa yang Disiplin
Sekolah bisa memberikan penghargaan bagi siswa yang mematuhi aturan dan menunjukkan sikap disiplin dalam kesehariannya.
Penghargaan ini bisa dalam bentuk sertifikat, pengakuan di depan umum atau hal-hal kecil seperti hadiah buku. Dengan adanya apresiasi, siswa akan merasa lebih termotivasi untuk mengikuti aturan yang ada.
Dengan menerapkan langkah-langkah ini, diharapkan budaya disiplin dapat ditanamkan dengan baik di lingkungan sekolah, dan potensi premanisme serta kekerasan bisa diminimalisir secara signifikan.
Larangan menggunakan pakaian berbahan Jeans, Jaket, dan Aksesoris Apa?
Di banyak sekolah di Indonesia umumnya melarang siswa memakai jaket dan aksesoris dari besi-besian, tali, kain lebih terkait dengan nilai budaya, etika, dan disiplin sekolah daripada aturan agama yang spesifik.Â
Meskipun secara hukum Islam (fiqih), pakaian berbahan jeans dan aksesoris  tak dilarang selama memenuhi syarat menutup aurat dan sesuai dengan prinsip kesopanan, sekolah tetap menerapkan kebijakan yang lebih ketat karena beberapa alasan:
1. Kesederhanaan dan Disiplin
Banyak sekolah menekankan pentingnya hidup sederhana dan menjaga disiplin, termasuk dalam berpakaian. Pakaian jeans, jaket, dan aksesoris sering dikaitkan dengan gaya hidup modern dan kasual.
Gaya kasual ini yang dianggap kurang mencerminkan kesederhanaan yang dianjurkan dalam pendidikan karakter di sekolah.
2. Pembentukan Karakter
Pakaian di sekolah sering menjadi bagian dari proses pembentukan karakter. Siswa atau santri biasanya didorong untuk mengenakan pakaian yang rapi, sederhana, dan Islami, seperti baju kemeja putih, pramuka, dan batik.
Larangan jeans, jaket, dan aksesoris dapat dilihat sebagai upaya untuk memisahkan mereka dari gaya berpakaian yang dianggap lebih berorientasi pada tren fashion dunia luar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi dan karakter sekolah.
3. Asosiasi dengan Gaya Hidup Luar Sekolah
Jeans, jaket, dan aksesoris sering dianggap sebagai simbol dari budaya populer Barat. Dalam beberapa konteks dilihat tidak sesuai dengan suasana religius dan kearifan lokal sekolah.
Dengan melarang jenis pakaian seperti itu, sekolah mungkin berusaha menjaga agar siswa tidak terlalu terpengaruh oleh gaya hidup luar yang konsumtif dan dianggap dapat mengganggu fokus mereka pada pembelajaran di sekolah.
4. Standar Keseragaman
Banyak sekolah menetapkan seragam atau kode berpakaian tertentu untuk menciptakan suasana kesetaraan dan keseragaman di antara para santri. Pakaian berbahan jeans, kaos, kulit cenderung kasual dan bervariasi dianggap tidak sesuai dengan standar seragam yang diterapkan di sekolah.
Alasan-alasan ini lebih bersifat sosial-budaya daripada murni agama. Sekolah umumnya menanamkan nilai-nilai kesederhanaan, ketaatan, dan kedisiplinan sebagai bagian dari proses pendidikan spiritual dan karakter santri.
Larangan Memakai Jaket di Sekolah: Antara Seragam, Kesenjangan Sosial, dan Disiplin
Peraturan sekolah bagian dari keseharian yang harus ditaati. Salah satu peraturan yang kerap ditemukan di berbagai sekolah adalah larangan memakai jaket selama jam pelajaran berlangsung.
Meskipun pada dasarnya jaket merupakan pakaian yang nyaman dan fungsional, terutama di saat cuaca dingin, banyak sekolah tetap melarang penggunaannya. Mengapa demikian?
Beberapa alasan di balik aturan pelarangan memakai jaket ke sekolah:
1. Agar Semua  Siswa Terlihat Seragam
Pelarangan jaket di sekolah adalah untuk menjaga keseragaman. Seragam sekolah memiliki peran penting dalam menciptakan rasa persatuan di antara siswa. Tak peduli dari mana asal mereka atau latar belakang ekonomi mereka. Kaya atau miskin.
Ketika seluruh siswa mengenakan seragam yang sama, identitas sosial mereka di luar sekolah menjadi lebih kabur, dan hal ini membantu menghilangkan batas-batas perbedaan di antara mereka.
Dengan tidak mengenakan jaket, siswa akan lebih terlihat seragam dan rapi, sesuai dengan semangat kesetaraan yang ingin dibangun melalui seragam sekolah.
2. Mengurangi Kesenjangan Sosial
Di balik kesederhanaan seragam, jaket sering kali menjadi simbol status sosial. Beberapa siswa mungkin memiliki jaket bermerk mahal, sementara yang lain hanya bisa memakai jaket biasa.
Perbedaan ini bisa memicu kesenjangan sosial dan bahkan menimbulkan perasaan rendah diri bagi siswa yang tidak mampu membeli pakaian yang dianggap keren atau modis itu.
Larangan mengenakan jaket di sekolah membantu mencegah terjadinya kesenjangan ini dan menciptakan suasana yang lebih inklusif di antara siswa.
3. Melatih Kedisiplinan
Selain sebagai bentuk keseragaman, larangan memakai jaket juga bertujuan untuk melatih kedisiplinan siswa. Sekolah adalah tempat di mana siswa diajarkan untuk menghargai aturan dan norma yang berlaku. Tidak memakai jaket selama di sekolah dan jam pelajaran adalah bentuk sederhana dari kedisiplinan ini.
Dengan mematuhi aturan tersebut, siswa diajarkan untuk menghormati ketentuan yang telah ditetapkan oleh sekolah dan menjadi pribadi yang lebih disiplin.
Pengecualian Saat Sakit
Meskipun aturan larangan jaket cukup tegas, banyak sekolah tetap memberikan kelonggaran bagi siswa yang memang membutuhkannya karena kondisi kesehatan, seperti ketika mereka sedang sakit.
Ini menunjukkan bahwa aturan tersebut tidak diterapkan secara kaku, melainkan dengan mempertimbangkan situasi tertentu yang memang membutuhkan pengecualian.
Pada akhirnya, larangan memakai jaket di sekolah bukan sekadar peraturan tanpa makna, tetapi memiliki tujuan penting dalam menjaga keseragaman, mengurangi kesenjangan sosial, dan melatih kedisiplinan para siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H