Duh, tentu guru itu merasa jantungan. Tangan berair. Keringat dingin mengucur di keteknya.
Terlihat benar contoh dari kurangnya penghargaan siswa terhadap otoritas sekolah. Sikap ini bisa menjadi akar dari perilaku premanisme. Siswa merasa bebas bertindak sesuka hati tanpa konsekuensi.
Ketika aturan kecil seperti larangan penggunaan jaket atau aksesoris tidak ditegakkan, siswa bisa merasa tidak ada batasan lagi. Jika tak ada batasan lagi hingga perilaku negatif seperti kekerasan semakin berkembang.
Premanisme di sekolah sering kali bermula dari ketidakteraturan yang dibiarkan tanpa sanksi. Bisa dimulai dari kostum, berkembang menjadi bentuk-bentuk pelanggaran yang lebih serius lagi.
Oleh karena itu, perlu adanya ketegasan dari pihak sekolah. Termasuk guru, wakil, dan seteakholder sekolah untuk memastikan bahwa aturan dipatuhi oleh seluruh siswa. Penegakan aturan berpakaian yang disiplin merupakan langkah awal untuk mencegah berkembangnya sikap premanisme dan tindak kekerasan di sekolah.
Dalam hal ini, sekolah tak boleh berperan sebagai ajang "fashion show," melainkan sebagai tempat untuk mendidik siswa agar memiliki sikap yang tertib dan disiplin. Dengan demikian, menjaga kerapihan dan kesesuaian kostum bukanlah sekadar masalah estetika.
Tapi menjaga kostum sesuai aturan sebagai bagian dari pendidikan karakter yang membentuk siswa menjadi pribadi yang lebih bertanggung jawab dan menghargai aturan. Bila mereka menghargai aturan, mereka pun menghargai guru.
Kedisiplinan dalam hal sekecil apa pun, termasuk dalam hal berpakaian, memiliki dampak besar dalam menciptakan lingkungan belajar yang sehat dan kondusif.Â
Oleh karena itu, sekolah perlu tegas dalam menegakkan aturan yang ada, demi mencegah berkembangnya budaya premanisme dan tindak kekerasan di kalangan siswa.
Untuk mengatasi masalah premanisme dan kekerasan yang berawal dari pelanggaran disiplin berpakaian di sekolah, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan tegas.Â
Berikut beberapa solusi yang dapat diterapkan: