Rendang Tanda Sayang Ibu dan Anak
Hujan rinai mengguyur Pasar  Padang Panjng. Akupun menambah kecepatan laju sepeda motorku. Tujuanku menjemput rendang yang sudah kupesan tadi pagi kepada teler rumah makan Tongga Piaman.
Aku sampai di restoran Tongga Piaman. Hujan rinai ini menambah damai siang ini. Ya memang beginilah cuaca kota ini. Kadang hujan lebat, sedang, dan rinai seperti saat ini. Tak heran pula bila disertai angin kencang. Dingin-dingin sejuk jadinya.
Untung aku selalu memakai baju dua lapis. Meski rinai dan angin kencang tak dingin. Juga tak menyurutkan  niatku untuk menjemput rendang pesananku. Rendang di Resto ini memang terbaik di kotaku.
"Maaf, Bu Sri, rendang pesanan Ibu belum disiapkan. Kami lupa tadi. Bisa siap untuk besok lagi." Nampak wajah pelayan itu memelas.
Wajahku mengernyit seketika. Untung ini masih siang. Masih siang, masih ada waktu untuk memasak sendiri. Kalau sudah terlalu sore tentu untuk makan malam lagi. Duh, Rara pasti sudah menunggu di rumah.
Dengan berat hati, aku memutuskan pulang tanpa rendang. Aku memutuskan masak dengan Rara saja rendangnya di rumah. Kasihan Rara bila hari ini tak jadi makan rendang.
Akupun melajukan motorku ke kios daging Menan. Ia menyambutku ceria.Â
"A buek lai?" Tanya beliau. (Masak apa lagi?)
"Itulah Da. Pesan rendang tadi tapi tak dapat. Bikin rendang aja, Da (Kak). Satu kilo yang lunak!" Jawabku.