Mengapa kita tetap memilih berlibur, padahal kita tahu perjalanan akan dihadang kemacetan?
Pertanyaan ini bisa ditemukan tiap tahun dalam psikologi manusia Indonesia. Aku salah satunya. Kebutuhan berlibur begitu kuat sehingga orang rela menanggung ketidaknyamanan. He he he. Lucu ya.
Liburan menjadi semacam pelarian aku dan kamu dari realitas. Sebuah eskapisme yang diperlukan untuk menjaga keseimbangan mental dan emosional manusia.
Jika kemacetan bisa merusak sebagian dari pengalaman ini, libur tetap dipandang cara ampuh untuk mendapatkan kebebasan sementara dari rutinitas kita.
Aku malah senang melihat para pedagang menjajakan jualan mereka di area. Ada tahu goreng, tojin, sate, sampai bendera kecil, tongkat kartu tol dan sebagainya. Kadang iba sih aku melihat mereka. Mobil-mobil menutup rapat kaca mobil.
Kemacetan yang terjadi itu berulang kali. Tempatnya sih itu-itu aja. Â Terjadi di tempat-tempat seperti Puncak dan Bogor. Ini menunjukkan masalah lebih dalam. Lonjakan jumlah kendaraan, infrastruktur yang belum memadai, serta kurangnya alternatif transportasi publik sebagai penyebab utama masalah ini.
Pemerintah sudah berupaya. Mereka memiliki peran penting dalam menyediakan solusi dan masyarakat pun memiliki tanggung jawab untuk menyesuaikan pola liburan mereka.
Memahami penyebab dan solusi  kemacetan, diharap di masa depan, liburan tak diwarnai stres akibat kemacetan ini lagi. Liburan menjadi momen yang menyenangkan.
Kita Tetap Pergi Berlibur Meski Tahu Jalanan Akan Macet?
Musim libur panjang atau long weekend telah tiba. Di wilayah seperti Puncak dan Bogor antrian kendaraan tak berkesudahan. Kemacetan ini menjadi pemandangan umum. Sudah berulang, bahkan hingga memakan waktu tempuh belasan jam.
Meski begitu, masyarakat tetap memadati jalur. Sudah tahu jalanan akan sangat macet. Mengapa hal ini terjadi?