"Kalau mau membuat puisi yang bagus," katanya sambil tersenyum, "kamu harus tahu dulu unsur-unsur di dalamnya. Seperti yang ku bilang di atas."
Dia lalu menjelaskan kembali satu persatu. Lalu ada irama. Dia melanjutkan penjelasannya tentang kata konotasi, lambang, dan imaji, membuat pikiranku semakin terbuka.
Kata-kata konotasi, misalnya, mampu menyembunyikan makna di balik lapisan kiasan. Lambang bisa memperkuat pesan, seperti bunga yang melambangkan cinta, atau merah yang melambangkan keberanian.
Imaji, ah, itu yang paling membuatku tersentuh. Imaji mampu membawa pembaca seolah benar-benar hadir di dalam suasana yang digambarkan oleh puisi.
Setelah penjelasan itu, aku merasa lebih percaya diri untuk menulis puisi. Aku mulai menulis. Pena di tanganku memang seolah menari-nari di atas kertas, menciptakan sebuah dunia baru di antara kata-kata.
Di tiap kata yang kutulis, aku menyisipkan makna, irama, dan imaji. Puisi itu perlahan terbentuk, seperti melodi yang menenangkan hatiku.
“Jadi, sudah siap membaca puisi buatanmu?” Tanya angin itu lagi.
Aku menatap kertas di tanganku. Kali ini, aku merasa siap. Aku tahu, puisi ini cerminan perasaanku yang terdalam, dan kini aku tak takut lagi membiarkan orang lain melihatnya.
---
Bahasa dalam Puisi Kita
Majas tentang bahasa kias penuh makna,
Ada langit keruh bercerita tentang jiwa,
Ada sungai tak lagi sendiri di sana,
Kiasan itu menyatukan dua dunia.
Personifikasi datang bicara lembut,
Langit menatapku ceria dan lembut,
Matahari mengintip malu-malu imut,
Di balik dedaunan, ia tersenyum imut.