"Bulan ada, Bu!" Teriak Bulan teman sebangku Recha.
"Boleh untuk Hafidz, Bulan?" Tanya Bu Guru Nana sopan.
"Boleh, Bu!" Angguk Bulan sambil berjalan menuju ke meja Bu Guru Nana.
"Oke Hafidz, ini Bu Guru Nana juga makan irisan bawang putihnya, Nak. Malah tanpa permen. Khusus Hafidz, boleh memakai permen karena pemula. Isap keduanya, ya. Jangan dikunyah." Jelas Bu Guru Nana sambil melirik Ite di belakangku.
Dengan terpaksa Hafidz menerima dua benda itu. Irisan bawang putih dan permen. Bola mata temanku itu berputar-putar kala ia memasukkan kedua benda itu ke dalam mulutnya. Tanpa kusadari, aku meringis.
Semua itu tak luput dari amatan Ibu Guru manis itu. Ibu Guru Nana menikmati irisan bawang putih di mulutnya. Wajahnya santai bak menghisap permen susu saja. Aku hanya bisa menggeleng-geleng kepala. Gegara garing alias garis miring temanku Hafidz berakhir dengan obat herbal bawang putih. He he he.
Tiba-tiba aku teringat Bu Guru El. Beliau guru Bahasa Arab di sekolahku. Beliau juga punya cerita lucu sejenis garing. Bila ingat cerita beliau, akupun senyam-senyum. Kala itu beliau katanya kuliah di UIN.
Beliau saat itu tahun satu dan semester satu kuliah. Ketika dosen beliau mendiktekan catatan. Selalu di akhir kalimat, dosen berkata nuqtah. Dengan lugunya Bu Guru El menulis nuqtah di tiap akhir kalimatnya.
Dosen itu pun berujar, "Saudari, nuqtah cukup ditulis memakai tanda baca titik (.) saja. Nuqtah artinya titik."
Duh...untung cuma teman di sebelah beliau saja yang mendengar katanya. Kebetulan pula teman di sebelah kiri-kanannya sedang fokus menulis hingga mereka tak terlalu peduli.
Akupun senyam-senyum mengingat cerita Bu Guru El. Segera aku menatap Bu Guru Nana. Kulihat beliau sibuk dengan laptopnya. Aku alihkan mata ke sekeliling kelas. Semua temanku pun sedang asyik menjawab soal.