Meskipun sudah sah menjadi aturan oleh DPR, masih banyak saja masyarakat yang mempertanyakan keabsahan UU Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja, resmi menjadi undang-undang saat ini.
Misalnya peraturan cuti, istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada UU itu dinilai banyak pihak memberatkan pekerja dan cendrung menguntungkan perusahaan.
Perusahaan pun berhak melakukan PHK di dalam UU tersebut dengan alasan-alasan yang sarat merugikan pekerja sebagaimana tertera di dalamnya. Karena belum disosialisasikan, maka Perppu itu dinilai sarat pemutusan hubungan kerja.
Misalkan pasal 154A UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Pasal inilah yang banyak menuai kontroversi. Pada pasal itu ditetapkan, perusahaan diperbolehkan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan kondisi perusahaan tertentu.
Pemutusan Hubungan Kerja oleh pemberi kerja itu dengan jumlah pesangon yang sangat kecil. Jumlah pesangon yang sangat kecil tapi PHK disebabkan poin-poin yang bukan sepenuhnya kesalahan pekerja. Poin-poin itu sebagai berikut:
Pertama, ketika perusahaan melakukan penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan Perusahaan dan Pekerja/Buruh tidak bersedia melanjutkan Hubungan Kerja atau Pengusaha tidak bersedia menerima Pekerja/Buruh.
Yah, ada kondisi-kondisi, ketika karyawan atau perusahaan tak bersedia melanjutkan hubungan kerja mereka ketika perusahaan memutuskan untuk merger. Ketika dalam merger Indosat dan Tri, misalnya, tak semua karyawan Tri bersedia diboyong ke PT Indosat Ooredoo Hutchison Tbk (Indosat Ooredoo Hutchison).
Kondisi seperti itu, perusahaan berhak Memutus Hubungan Kerja dengan Pekerja yang tak bersedia diboyong. Perusahaan tak perlu memberi pesangon atau memberi pesangon sesuai lama bekerja. Besaran pesangon hanya satu kali upah minimum per bulan untuk masa kerja setahun.
Misalnya, si A bekerja kurang setahun. Lalu di-PHK. Si A masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan Upah; bila masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah; dan bila masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan Upah; begitu seterusnya.
Kedua, ketika perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan Penutupan Perusahaan atau tidak diikuti dengan Penutupan Perusahaan yang disebabkan Perusahaan mengalami kerugian.
Pengaturan Pemutusan Hubungan Kerja itu termaktub dalam Pasal 81 angka 42 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang memuat Pasal 154A ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) berbunyi:
(1) Pemutusan Hubungan Kerja dapat terjadi karena alasan:
"Perusahaan melakukan efisiensi diikuti dengan penutupan perusahaan atau tidak diikuti dengan penutupan perusahaan yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian;"
Misalnya, pengusaha sedang mengalami kesulitan di perusahaannya. Untuk meminimalisir kerugian, tentu berdampak pada jumlah pekerja. Nah tak jarang kesulitan itu berdampak langsung kepada pekerja. Pemberi kerja terpaksa melakukan PHK demi mengurangi cost pembayaran upah atau efisiensi di atas.
Ketiga, Perusahaan tutup yang disebabkan karena Perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, Perusahaan tutup yang disebabkan keadaan memaksa (Force majeur).
Force majeure merupakan tiba-tiba keadaan yang muncul atau terjadi setelah para pihak membuat suatu perjanjian.
Keadaan tersebut menjadi penghalang bagi salah satu pihak untuk memenuhi prestasinya, misalnya terjadi kerusuhan, huru-hara, pemogokan, pelambatan, penutupan atau kekacauan. Bom Bali tanggal 12 Oktober lalu.
Omzet hotel-hotel menurun drastis hingga perusahaan merugi. Para pemberi kerja di hotel menanyakan, bolehkah mengajukan PHK dengan alasan Force Majeur dan dengan demikian pesangon yang diberikan adalah 1X Kepmen saja. Sekarang terjawab dengan UU Cipta Kerja ini.
Keempat, Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang, Perusahaan pailit
Saat ini, ketidakmampuan membayar utang akibat kebangkrutan adalah persoalan yang sering terjadi di kalangan para pengusaha. Misalnya, tahun 2017 lalu terdapat sekurang-kurangnya 8 (delapan) perusahaan Indonesia yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Ketidakmampuan membayar utang-utang yang sudah jatuh tempo. Akibat putusan pailit terhadap perusahaan-perusahaan itu tak hanya dirasakan para pengusaha, juga pihak-pihak lain yang bersangkutan atau para stakeholder, karyawan, konsumen, supplier, dan masyarakat serta Kreditur.
Meski, Debitur atau pelaku usaha tak mampu membayar utang itu dapat mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sebagai alternatif penyelesaian utang.
Kelima, adanya permohonan Pemutusan Hubungan Kerja yang diajukan oleh Pekerja/Buruh dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam Pekerja/ Buruh
2. membujuk dan/atau menyuruh Pekerja/Buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
3. tidak membayar Upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih, meskipun Pengusaha membayar Upah secara tepat waktu sesudah itu
4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada Pekerja/ Buruh
5. memerintahkan Pekerja/Buruh untuk
melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan
6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan Pekerja/Buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada Perjanjian Kerja
Keenam, adanya putusan lembaga penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang menyatakan Pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada angka 6 terhadap permohonan yang diajukan oleh Pekerja/ Buruh dan Pengusaha memutuskan untuk melakukan Pemutusan Hubungan Kerja
Ketujuh, Pekerja/Buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri
2. tidak terikat dalam ikatan dinas
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Delapan, Pekerja/ Buruh mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis
Sembilan, Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Sepuluh, Pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 (enam) bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.
Sebelas, Pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.
Dua belas, Pekerja memasuki usia pensiun; atau
Tiga belas, ketika pekerja meninggal dunia.
Bila dicermati 13 butir-butir UU di atas, semua masih dalam ranah wajar dan bisa diterima akal sehat manusia sehat bila terjadi PHK atas 13 alasan itu. Hanya saja pesangon yang diterima sangat kecil dibanding Perppu terdahulu.
Lalu bagian mana lagi yang mengundang kontroversi itu?
Ada 5 poin penting Perppu Cipta Kerja menurut Kemnaker yang menjadi Pasal-Pasal kontroversial:
Pertama, Tentang libur pekerja 1 hari dalam sepekan
Tentang libur pekerja cuma satu hari dalam sepekan menimbulkan kontroversi. Padahal di UU Ketenagakerjaan sebelumnya, disebutkan jika pekerja memiliki hak libur 2 hari dalam sepekan.
Selama menjadi ASN, saya belum pernah menikmati libur 2 hari dalam sepekan. Dari dulu libur cuma hari Minggu dengan jam kerja 37, 5 jam seminggu. Jam mengajar pun dipatok 24-40 jam seminggu. Saya sendiri mengajar 40 jam seminggu. 40 jam x 4,5 Minggu.
Alhamdulillah. Disyukuri. Kita membutuhkan kerja dan kerja pun butuh kita. Untung kita masih diperhitungkan. Tak diquiet firing. Bayangkan bila sempat kita mengalami Quiet Firing di situasi UU seperti ini. Frustasi, malah rugi.
Kedua, masalah upah minimum
Pasal 88 D ayat 2 UU Cipta Kerja menjelaskan bahwa upah minimum akan dipertimbangkan berdasar variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Kata "indeks tertentu" inilah yang ditakutkan banyak orang. Kata indeks tertentu ini menyebut hal yang tidak jelas definisinya. Inilah yang dikhawatirkan akan menjadi blunder untuk para pekerja nantinya.
Ketiga, tidak jelas kategori pekerjaan yang termasuk dalam outsourcing
Perppu Cipta Kerja Pasal 81 poin 19 sampai dengan 21 menyebut masalah outsourcing. Pasal itu, tak jelas atas pekerjaan apa saja dan bidang apa saja menggunakan tenaga outsourcing.
Bila jenis pekerjaan bisa menggunakan tenaga outsourcing tak dijelaskan, diyang akan merugikan buruh dan pekerja.
Keempat, masalah pesangon dan poin-poin PHK
Perppu Cipta Kerja yang sekarang, masalah pesangon menimbulkan polemik. Perppu menetapkan dan mengundangkan bahwa pemberian pesangon menjadi 9 kali ditanggung oleh pengusaha.
Sebagaimana bunyi ketentuan Pasal 156 ayat (1) pesangon sebesar itu baru bisa diambil, dengan catatan sudah 8 tahun bekerja. Duh, kecil menurut kita pekerja. Namun, menurut pengusaha itu sudah besar di tengah krisis saat ini.
Kelima, berdasar poin memperbolehkan mem-PHK pekerja di atas, sebagian masyarakat, masih menilai Perppu ini tidak memberi perlindungan kepada pekerja.
PHK secara sepihak dari perusahaan inilah yang dinilai sarat pemutusan hubungan kerja itulah letak kontroversinya. Perppu seolah lebih berpihak dan memberi ruang subyektivitas kepada pemberi kerja. Mereka tentu lebih mudah untuk menilai pekerja dan memecat.
Sebagaimana Airlangga mengatakan "Indonesia sedang resesi global dengan peningkatan inflasi, ancaman stagflasi, dan bukan kita saja, beberapa negara sedang berkembang sudah menjadi pasien IMF. “Kondisi krisis ini sangat nyata untuk emerging developing country.”
Yah, kita serahkan semua kepada Allah. Semoga pekerja menjaga ritme kerja mereka, terampil, beretos kerja tinggi agar tak terdampak PHK. In sya Allah, usaha takkan pernah mengkhianati hasil. Man jadda wa jadda, siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat. Semangat Kerja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H