Yah. Jika kita dapat dosen intelek, bisa jadi hanya 16x bimbingan sudah kelar. Dosen pembimbing 2 orang, berarti kita menyimpan draf skripsi 16 file x 2 = Â 32 file. Wkwkwkkkk.
Bila dosen melakukan bimbingan 20x berarti 20 draf file x 2 pembimbing = 40 file. Percayalah. Metode ini akan membuat kita mudah meperbaiki coretan-coretan dan kritikan-kritikan dosen. Malah kita akan ketawa" Bukannya ini sudah aku tulis di draf 1? Wkkk wkkk."
Dalam hati saja komennya dan tertawanya. Tinggal salin dan hapus, bukan?
Apa susahnya menyimpan file sebanyak itu itu karena yang menyimpan laptop atau notebook kita. Bukan kepala kita. Eits, prin tentang coretan saja, dan cukup fotokopi untuk yang tak bercoret. Nah, tetap bisa digandakan 2 rangkap dengan fotokopi.Â
Yang dicoret saja yang diketik ulang. Ada juga dosen yang baik yang ngasih ide ini kok. He he he." Ketik halaman salah saja, Yus! Pisahin yang salahnya ya. Tapi tetap dibawa saat bimbingan," Duh sejuk kan?
Konyol juga bila kita hanya menyimpan di satu folder perbaikan. Giliran dosen memutarbalikkan data, kamu pusing harus ketik ulang lagi dari awal. Emang sih ini butuh kreativitas.
Ketiga, dosen itu manusia biasa juga. Manalah beliau ingat persis apa yang sudah diprotesnya di setiap bimbingan. Jadi, sabar saja. Ikuti saja berapa kali pun beliau mengajak konsultasi. Anggap silaturahmi.
Dengan silaturahmi itu dan dengan pengulangan-pengulangan perbaikan skripsi itu, akan memudahkan kita pada saat kompre atau menghadapi ujian skripsi. Di kompre inilah pertandingan lebih berat lagi. Terjadi beda pendapat antara pembimbing dengan penguji.
Saya masih ingat, salah satu dosen penguji mengatakan ini kepada rekan sesama dosennya ketika saya selesai diujinya, "Dengan saya seharusnya, ia tak lulus itu ujian skripsi." Duh sedih banget mendengarnya. Masak sih seorang pendidik berperilaku dan berkata seperti itu.
Syukurnya kan saya lulus. Nilai A. He he he. Kadang kala ocehan semacam inilah yang menghiasi perjalanan kita dalam meraih cita-cita. Kudu sabar. Meski dosen saya berkata seperti itu, saya sabar. Akhirnya pihak kampus mengajak saya juga menjadi tenaga pengajar di sana.Â
Saya sempat juga menjadi dosen, sejajar dengan dosen saya itu. Saya pun pernah menjadi guru pamong mahasiswa PPL di bawah bimbingan beliau.Â