Apakah kejadian pengeroyokan di Lampung itu masih bisa kita anggap sebagai "kenakalan" remaja? Apa dan adakah batasan antara kenakalan dengan kriminal?
Demikian pula beberapa waktu lalu, ada dua remaja usia 17 dan 14 tahun, Â nekad ingin menjual organ tubuh bocah berusia 11 tahun. Mereka membunuhnya.
Ada pula seorang anak perempuan yang duduk di bangku TK, dicabuli tiga anak SD. Duh, akibat kejadian ini, korban mengalami trauma. Ia enggan ke sekolah dan keluar rumah untuk sekedar bermain. Betapa malu dan malangnya anak TK itu. Saya saja yang bukan ibunya, ketika menulis ini meneteskan air mata.
Bila hanya Diversi dan Restoratif Justice yang kita pakai menangani ini, tentu akan banyak lagi kejadian-kejadian serupa dengan kasus yang berbeda yang lebih nahas lagi yang akan terjadi. Sayangnya, di antara kita tak tahu mesti harus berbuat apa. Undang-Undangpun mandul tak bisa diterapkan.
Saya masih ingat, ketika saya memproses murid saya. 12 orang mereka cabut dari asrama sekolah. Namun, di antara 12 orang itu tak ada anak bernama Zehal.
Zehal ini terkenal paling badung di antara siswa di sekolah. Lalu saya tanya mereka. Mengapa Zehal tak ikut cabut? Mereka menjawab dengan cerdas, " Zehal tak boleh cabut lagi, Bu?" Jawab mereka.
"Mengapa?" tanya saya.
"Jika Zehal, cabut, buldozer, dan tank perang yang akan menjemputnya ke pasar, Bu!" kata mereka.
"Maksudmu, dia sudah mencapai batas poin?" tanya saya.
"Benar, Bu. Sekali lagi saja Zahel cabut atau melanggar di asrama, maka ia akan dikeluarkan." Jawab mereka.
Demikian cerdas mereka menyiasati kenakalan mereka. Mereka lindungi teman mereka yang ada pada posisi terancam itu. Nasib di ujung tanduk.