"Enak nih Mak. Wangi lagi. Lebih enak dari rendang daging dan kalio ayam. Makasi ya, Mak sayang," Jawabku mulai menyantap makanan. Duh, nikmatnya. Cabainya pas. "Mak makan dengan apa? " Â Lanjutku.
" Mak pakai ayam bakar saja. Mak ambil di meja prasmanan tadi. Udah lama Mak tak makan ayam bakar. Sejak kamu bikin 3 tahun lalu.
"Duh, lama sekali Mak. Bisa dibeli di pasar Tampus, kan Mak?"
"Tak enak, Yun."
"Mak manja, deh. Ayah kan pintar bakar-bakar.
"Kepala Desa sibuk sekarang, Yun. Ada audita-audita gitu."
"Maksud Mak, audit keungan Desa?"
"Ha ah. Betul Yun. Ya itu. Audit." Aku mengulum senyum. Makku memang bukan anak sekolah. Beliau dari keluarga miskin. Ketika kecil beliau mengasuh adik-adiknya, berjumlah 5 orang. Nenek dan oppung ke sawah.
Dua di antaranya kembar laki-laki. Si kembar ini bandel. Pernah main api hingga rumah mereka terbakar. Semua ludes. Bertambahlah miskin mereka. Mak cuma sekolah 3 tahun di SD.Â
Makanya Mak kalau ngomong dan cerita tak ada lembut-lembutnya. Beda dengan ayah, beliau anak orang kaya. Tamat Sekolah Guru Agama. Menghonor di SD Muhammadiyah. Sekarang kepala desa.
"Eh, Yun. Tadi mak lewat di depan rumah Pram." Mak memutus lamunanku. "Boumu sedang menangis histeris. Istri Pram, Si Vella kabur dari rumah. Bawa uang Pram. 1 Miliar, Yunda. Hayay---" Mak seolah sesak nafas. Aku juga kaget. 1M?