"Kamu sudah pulang, Ayunda!" Kaget Mak dari samping rumah. Kedua tangannya menenteng dua panci bertutup dengan ukuran besar kecil.
"Iya, Mak. Baru sampai. Udah sejamanlah. Marbagas atau Maninggal, Mak?" Lirikku pada panci besar kecil di tangan Mak.
"Marbagas, Ayunda. Si Rosni anak Tulang Makmur menikah ke Siadabuan. Suaminya kaya Ayunda, mata Mak berbinar semangat. Punya hotel di Medan. Tiga cabangnya." Mak meletakkan panci besar di antara kaki kami.
Merogoh saku gamisnya lalu mengeluarkan kunci. Memasukkan anak kunci ke lubang pintu. Kreck--- bunyi kunci diputar terdengar. Mak pun membuka pintu. Akupun membawa panci besar. Berat.
Aku dan Mak masuk rumah. " Tak ikut Mak ngantar Si Rosni?" Tanyaku mensejajari langkah Mak menuju dapur.
"Nggak Yunda. Mak besok ada kegiatan lomba PKK di kecamatan. Kamu juga. Kamu lomba pidato tentang keluarga sejahtera ya, Yunda. Udah siap pidatomukan?" Tatap Mak kepadaku sambil bertanya. Aku hanya mengangguk.
"Mak sama ibu-ibu lomba apa? " Â Tanyaku lagi dan balas menatap Mak.
" Kami lomba masak, Yunda. Bikin sarapan sehat, lomba baju basiba, dan lomba pasang jilbab tanpa kaca. Yun, ayo makan. Kita tak tunggu ayah dan adik-adikmu. Mereka sedang buka ikan larangan di bendungan." Jelas Mak.
"Wow. Pantesan kampung sepi, Mak. Dari jalan besar ke sini sepi semua. "Aku membuka penutup panci besar. Ada nasi panas di dalamnya. Ada sambal borsang (kelapa giling kasar) dicampur teri, kentang potong dadu, tempe, dan jengkol muda juga potong dadu.
"Tuh, sambal kegemaranmu Ayunda. Sambal borsang. Bisanya ada jika ada yang menikah dan meninggal. Sengaja Bou Saima yang bikin. Mak suruh simpan buat kamu satu mangkok."
"Enak nih Mak. Wangi lagi. Lebih enak dari rendang daging dan kalio ayam. Makasi ya, Mak sayang," Jawabku mulai menyantap makanan. Duh, nikmatnya. Cabainya pas. "Mak makan dengan apa? " Â Lanjutku.
" Mak pakai ayam bakar saja. Mak ambil di meja prasmanan tadi. Udah lama Mak tak makan ayam bakar. Sejak kamu bikin 3 tahun lalu.
"Duh, lama sekali Mak. Bisa dibeli di pasar Tampus, kan Mak?"
"Tak enak, Yun."
"Mak manja, deh. Ayah kan pintar bakar-bakar.
"Kepala Desa sibuk sekarang, Yun. Ada audita-audita gitu."
"Maksud Mak, audit keungan Desa?"
"Ha ah. Betul Yun. Ya itu. Audit." Aku mengulum senyum. Makku memang bukan anak sekolah. Beliau dari keluarga miskin. Ketika kecil beliau mengasuh adik-adiknya, berjumlah 5 orang. Nenek dan oppung ke sawah.
Dua di antaranya kembar laki-laki. Si kembar ini bandel. Pernah main api hingga rumah mereka terbakar. Semua ludes. Bertambahlah miskin mereka. Mak cuma sekolah 3 tahun di SD.Â
Makanya Mak kalau ngomong dan cerita tak ada lembut-lembutnya. Beda dengan ayah, beliau anak orang kaya. Tamat Sekolah Guru Agama. Menghonor di SD Muhammadiyah. Sekarang kepala desa.
"Eh, Yun. Tadi mak lewat di depan rumah Pram." Mak memutus lamunanku. "Boumu sedang menangis histeris. Istri Pram, Si Vella kabur dari rumah. Bawa uang Pram. 1 Miliar, Yunda. Hayay---" Mak seolah sesak nafas. Aku juga kaget. 1M?
"Padahal uang itu milik bos Pram yang di Sidempuan, Yun. Uang itu rencananya malam ini di antar ke Payakumbuh. 500 juta untuk melunasi telur ayam ras dan 500 juta lagi untuk melunasi bon jeruk si bos di Batu Sangkar." Wajah Mak pias.Â
Mak juga mungkin kasihan kepada Pram. "La haula wala quwwata illa billah." Trus Pram bagaimana Mak?" Tanyaku syok.
"Tadi Pram sudah mengejar Vella. Kabarnya ia lari ke Bengkulu. Pasti ketangkep, Yunda. Foto Vella sudah disebar."
"Mak, bukannya Vella sakit. Kok bisa menikah dengan Pram?" Tanyaku pelan. Padahal aku juga pengen nangis. Kasihan Pram.
"Si Pram dijebak Vella. Biasalah, di sini sering kejadian kan, jebak laki-laki. Terus dipaksa menikah. Pram diajak mampir di rumah Vella. Lalu dikasih minum gitulah. Pram teler. Dibawa Vella ke kamar. Dibuka bajunya. Vella juga. Pintu kamar dibiarin kebuka." Serem Yun.
"Pas ayah Vella pulang dari kantor sama abang Vella yang nomor satu, ketangkep di kamar dalam selimut. Panggil warga, kepala desa, dan P3-NTR. Nikah. Sepertinya Vella sengaja jebak Pram." Mata Mak membesar bercerita. Ciri khas Mak bila sudah serius.
"Ia sudah sembuh. Tiga tahun ini gak pernah kambuh sakitnya. Tak pernah jerit-jerit atau kabur-kaburan. Mereka malah sudah buka toko di sebelah rumah Pram. Tokonya laris." Wajah Mak berubah sendu.
"Cuma, Vella sering ngigau kata Boumu Umak Pram. Nangis. Cerita. Katanya Pram ninggalin dia dalam mimpi." Mak mewek lalu menangis.
'Begitu. Kasihan Pram,' sebutku dalam hati. Mana berani aku komentar. Ntar diskak mat oleh Mak.Terus diaduin ke ayah. Wah, bisa bubar liburanku. Pasti ayah akan ada akal untuk memulangkanku ke kota. Mending aku pura-pura mati rasa. He he he. Berdrama.
Ih, jangan deh. No coment aja buat kasus Pram. Pantesan tadi Vella marah kepadaku saat Pram bilang sudah menikah. Apa mungkin aku ada dalam mimpi Vella. Aku dan Vella memang sudah 6 tahun tak jumpa.
Sejak ia diungsikan ke Medan. Vella masih cemburu sepertinya kepadaku. Seperti di SD dulu. Duh, Vella, Vella. Kapan kamu dewasa sobat. Udah tiga tahun nikah, masih juga tak berubah.
Tak mungkinlah aku mengambil Pram darimu. Keluargaku pun pasti tak menyetujuiku dengan Pram. Meski ia setampan Bradd Pitt.
Kata ayah terang-terangan hari itu, saat mengantarku ke rumah Mak Puk, "tampan itu cuma bertahan sesaat. Nanti sudah beranak dan susah nyari uang bakal terlihat jelek. Kulit berdebu. Kumis, jenggot, dan rambut pun ubanan." Ayah diam sesaat.
"Kecuali kalau Pram jadi guru, pekerja di bank, atau kantor camat. Pasti tambah tampan dan keren. Tapi, jika menjadi pedagang keliling dengan dalih pengusaha, pasti jelek, Ayunda." Kata ayah.
Huh, cinta monyet memang bikin pusing. Ayah benar. Perasaan sukaku kepada Pram juga benar. Tapi sayang, nasib Pram tragis. Ia berhenti sekolah. Hanya tamat SD. Andai Pram sarjana, mungkin ayah merestui kami.
Demikian pula pernikahan Pram, berakhir tragis. Berakhir sudah pernikahan Pram dan Vella. Mungkin inilah takdir hidup Pram karena telah mengecewakan orang tua, berhenti sekolah. Tidak berhati-hati dalam bergaul hingga dijebak Vella.
Pernikahan yang diawali jebakan dari awal oleh Vella. Berakhir sudah. Vella bisa jadi berdrama menyusun strategi menjebak Pram. Kasihan dirimu Pram.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H