Siapa cepat dapat naskah soal remedi tersebut, dia dapat karena guru sudah kabur dan  tak mengawasi proses remedi. Setelah soal diberikan, guru kabur. Anak agresiflah pemenang mendapat soal.
Sejatinyanya remedi itu terstruktur, menggunakan waktu khusus. Diawasi oleh guru sampai selesai. Dimulai dengan menjelaskan kembali materi. Menjelaskan materi dengan prosedur di atas. Secara bimbingan individual karena anak belum mengerti.
Secara berkelompok, pemberian tugas, tutor teman sebaya pun dilakukan jika perlu. Semua tentu dalam pengawasan guru.
Setelah anak faham barulah tes ulang dilaksanakan. Soal tes yang diberikan tidak sama dengan soal tes yang sudah dipakai sebelumnya. Â Demikian juga tata pelaksanaan tak diawasi baik di sekolah maupun di asrama.
Keenam, uang bimbingan asrama untuk apa?
Menilik dari pernyataan guru pembimbing asrama, bahwa tak ada bimbingan masalah sekolah di asrama, lalu untuk apa uang bimbingan asrama. Dari wakil kurikulum diketahui anak tetap telat bangun tidur, hafalan Al-Quran pun tak ada penambahan.Â
Lebih miris, bila tong sampah penuh, maka pembimbing asrama yang merupakan suami guru Matematika ini, melempar  sampah-sampah itu ke dalam kamar siswa asrama.
Ketujuh, orang tua tak pernah diberitahu guru jika anak bermasalah, begitupun wali kelas, dan guru BK
Pepatah Minang mengatakan, makan tebu sampai ke tanah-tanahnya. Ini pula yang terjadi kepada Anak di atas. Jangankan memberitahu orang tua, guru wali kelas, dan guru BK pun tak pernah diberitahu guru. Guru menunggu dan menunggu anak mandiri tanpa bimbingan remedi dan pemberian tugas yang tepat.
Menurut anak, ia tak faham materi, kemudian soal berebutan, dan nomor soal ditugaspun tak tertulis diberitahu  sang guru. Hanya berujar, "Lengkapi tugas dengan mencari buku teman yang tugasnya lengkap." Duh, guru menyuruh anak menyontek.
Sedang pembiasaan karakter di sekolah itu 'haram menyontek.'