Bau daun singkong nan khas menguar wangi. Sementara aku sedang mengaduk-aduk panci berisi adonan santan dan kacang Panjang agar santan tak pecah, dengan perasaan gundahku.
Terus terang aku penasaran dengan kondisi Pram. Benarkah ia tak seganteng dulu lagi? Kenapa bisa berubah? Butuhkah Pram aku tengokin?
Duh, bejibun pertanyaan merasuki pikiranku. Mak pun telah usai menumbuk daun singkong. Beliau memasukkannya ke dalam panci. Berikut 5 potong ikan mas salai kesukaan kami.
Wangi daun singkok tumbuk plus ikan salai pun menguar. Sekarang aku menggiling cabai merah keriting, bawang merah, ikan asin yang sudah dibakar di atas bara api.
Aku sedang membuat sambal tuk tuk. Juga khas kampungku. Tambah enak dimakan bersama jengkol bakar.
Disebut sambal tuk tuk karena begitu bunyinya saat diolah. Tuk tuk tuk tuk tuk bunyinya, ketika batu penggiling cabai dan anak batu penggiling diadu menumbuk ikan asin agar tak terlalu halus.
Terakhir aku memeras air asam  sundai ke sambal tuk tuk itu. Wangi khas sambal tuk tuk dan daun singkok tumbuk memenuhi ruangan dapur. Akupun menghidangkan semua di ruang makan.
Kamipun makan bersama. Lagi kenangan dan rasa penasaranku atas kondisi Pram menemaniku makan. Setiap suapan berlomba atas nikmat masakan dan perih luka tak berdarah jiwaku mengenang cerita tentang Pram yang sakit.
Malangnya, aku hanya bisa menutupi lukaku di hadapan keluargaku. Meski ayah, mak, nenek, adik, kakak, ada, namun mereka belum tentu bisa kupilih sebagai teman curhatku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H