Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lukaku untuk Kedua, Ketiga, Keempat, Kelima Kalinya untuk Pram

11 Januari 2023   21:33 Diperbarui: 14 Januari 2023   00:20 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi hati yang terluka: hipwee

Penyesalanku kembali menguakkan luka kala kakiku menapak di kampung halaman. Konsekuensi yang kutuai berupa penyesalan dan rasa bersalah meninggalkan Pram dengan air mata di mata coklatnya belum berakhir.

Pertama, saat aku turun dari bus yang membawaku dari kota, berhenti pas di depan rumah keluarga Pram. Rumah itu masih sama seperti rumah tiga tahun lalu. Kecil dan berdinding papan.

Mungkin hanya sebesar dan seluas ruang tengah di rumah keluargaku. Tak bisa mengelak, saat turun dari bus Mak si Pram yang aku panggil namboru atau bou sedang duduk di dekat pintu utama rumahnya.

Dulu aku sering duduk di situ bersama Pram. Kami menghitung jumlah mobil yang lewat. Ketika jumlah hitungan kami tak sama, kami pun tertawa berderai. Mata coklat Pram berbinar diiringi senyumnya yang tulus. Sebatas itu yang kupahami. Aku suka itu.

Kedua, ketika aku mendekati Bou (saudari perempuan ayah), saliman, dan bercengkrama sesaat, dari beliaulah aku dapati kabar bahwa Pram sakit. Sudah tiga tahun sakit. Bukankah perpisahan kami terjadi tiga tahun juga?

Duh, bisakah sakit karena kami putus? Atau karena aku tak mengabulkan keinginan Pram menikah dini? Sedalam itukah perasaan Pram padaku. Tak sadarkah dia bahwa kami baru tamat sekolah dasar.

Benar, ketika kami putus, aku baru duduk di kelas 2 SMP semester 2 dan sekarang aku duduk di semester 2 kelas 2 SMA. Selama itu pula aku tak pernah pulang ke kampung. Ayah dan Maklah yang mengunjungiku ke kota.

Sejak kata putus keluar dari mulutku, Pram tak pernah datang lagi. Akupun tenggelam dengan kegiatanku membaca novel-novel favoritku. Di selingi kegiatan lomba baca puisi dan pidato.

Di kota aku selalu merasa kekurangan waktu. Dari pagi hingga siang sekolah. Sepulang sekolah latihan puisi atau pidato. Kadang ikut pula paduan suara jika akan ada upacara di lapangan. Semisal 17 Agustusan.

Sore hingga malam bikin PR. Waktu membaca novel pun harus disiasati. Sudah dua kali novelku disita guru karena ketahuan mencuri baca sedang belajar.

Perlahan keberadaan Pram teman sekolah dasarku tergusur dari lingkaran hatiku. Nyeri karena luka di matanyapun tersimpan rapat di sudut gudang hatiku. Terkunci dengan gembok besi karatan.

Ketiga, "Yunda, tubuh Pram sangat kurus sekarang. Ia sudah tiga tahun sakit. Syukurlah kamu tak mengikuti Pram dulu untuk nikah muda. Jika kamu menikah dengannya, tentu kamu sudah beranak sekarang. Bisa jadi sedang hamil anak kedua pula, seperti si Tina itu."

Cerita Mak sepihak ketika aku menemani Mak di dapur memasak sayur. Kenyataan itu membuat luka perih di dasar hatiku berdarah lagi. Sakit dan menyesal tak berarti lagi. Bungkam mulutku tak bisa menanggapi ucapan Mak apalagi untuk sekedar membela diri apalagi Pram.

Keempat, Mak belum berubah. Masih arogan atas apa yang tak direstuinya. 'Darimana pula Mak tahu aku menolak Pram,' bisikku dalam hati. Mungkin Pram cerita ke Maknya lalu Maknya menuntut Makku. Hih ngerinya.

Syukurlah ketika bertemu tadi Bou hanya bercerita Pram sakit. Tak mengajak atau menyuruhku masuk untuk membezuk Pram. 

Jujur, aku malu bertemu Pram. Aku belum menata hati dan pikiranku untuk sekedar menemuinya. Meski rindu itu masih ada. Duh hati. Kapanlah engkau bisa murni lagi.

"Pastilah kamu menyesal jika memilih Pram daripada sekolah ke kota. Ganteng tak bertahan lama, Ayunda. Sekarang Pram sudah kempot seperti lelaki tua. Tak sesuai umurnya." Urai Mak cuek mengiris-iris hatiku.

" Mak heran penyakit apa pula yang menggerogoti daging Pram. Kurus seperti tengkorak hidup." Ketus Mak tanpa rasa kasihan." Kembali ngilu bertambah.

Tangan Mak sibuk mematahkan kacang panjang yang akan dimasak bersama daun singkong. Lalat duda (daun singkong ditumbuk) namanya. Ciri khas pengolahan daun singkok di kampungku.

"Mak sakit hati kepada Umak Pram." Kembali Makku mencerocos. "Katanya kamu memutuskan Pram tanpa sebab. Dimana pula Pram ketemu sama kamu kan?. Masak Maknya bilang kamu pacaran sama Pram dulu, Ayunda. Bikin malu Mak saja. Di pasar jonjong (pasar kaget) pula Maknya bilang itu."

Mak pindah ke dekat lesung. Memasukkan daun singkong, rimbang muda, daun bawang panjang, dan cabai rawit. Beliau mulai menumbuk daun singkong. Duk duk duk duk, begitu bunyinya ketika alu ditumbukkan ke dalam lesung.

Bau daun singkong nan khas menguar wangi. Sementara aku sedang mengaduk-aduk panci berisi adonan santan dan kacang Panjang agar santan tak pecah, dengan perasaan gundahku.

Terus terang aku penasaran dengan kondisi Pram. Benarkah ia tak seganteng dulu lagi? Kenapa bisa berubah? Butuhkah Pram aku tengokin?

Duh, bejibun pertanyaan merasuki pikiranku. Mak pun telah usai menumbuk daun singkong. Beliau memasukkannya ke dalam panci. Berikut 5 potong ikan mas salai kesukaan kami.

Wangi daun singkok tumbuk plus ikan salai pun menguar. Sekarang aku menggiling cabai merah keriting, bawang merah, ikan asin yang sudah dibakar di atas bara api.

Aku sedang membuat sambal tuk tuk. Juga khas kampungku. Tambah enak dimakan bersama jengkol bakar.

Disebut sambal tuk tuk karena begitu bunyinya saat diolah. Tuk tuk tuk tuk tuk bunyinya, ketika batu penggiling cabai dan anak batu penggiling diadu menumbuk ikan asin agar tak terlalu halus.

Terakhir aku memeras air asam  sundai ke sambal tuk tuk itu. Wangi khas sambal tuk tuk dan daun singkok tumbuk memenuhi ruangan dapur. Akupun menghidangkan semua di ruang makan.

Kamipun makan bersama. Lagi kenangan dan rasa penasaranku atas kondisi Pram menemaniku makan. Setiap suapan berlomba atas nikmat masakan dan perih luka tak berdarah jiwaku mengenang cerita tentang Pram yang sakit.

Malangnya, aku hanya bisa menutupi lukaku di hadapan keluargaku. Meski ayah, mak, nenek, adik, kakak, ada, namun mereka belum tentu bisa kupilih sebagai teman curhatku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun