Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

5 Faktor Penyebab Anak Kurang Percaya Diri di Sekolah

26 Desember 2022   07:50 Diperbarui: 26 Desember 2022   17:29 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak percaya diri| Dok Freepik via Gramedia

Penerimaan rapor sudah selesai. Guru masih ada PR di awal pembelajaran semester 2 nanti. Sebab masih ada siswa yang belum menuntaskan pelajarannya. Biasanya siswa ini belum tuntas karena terlalu sering bolos di sekolah. Anak bolos dengan alasan sakit. 

Memang dalam satu semester ini ada 2 jenis virus yang membuat anak izin dan harus bolos di sekolah. Pertama merebaknya virus cacar air dan kedua, virus sakit mata. Kedua virus ini ada yang mengontak satu anak jelang akhir pembelajaran semester satu.

Akhirnya satu anak bolos di sekolah lebih kurang 20 hari. Tentu kondisi ini membuat mereka tak bisa mengikuti pembelajaran. Tambahan lagi, anak ini sudah pula terkategori malas dan kurang percaya diri pada pembelajaran sebelumnya.

Ada lo, Ayah Bunda, ditemukan teman wali kelas, anak yang tak tuntas semua mata pelajaran. Ke mana ya orangtuanya sehingga anak mengalami kondisi ini. Setelah dibawa ke ruang rapat, barulah guru-guru mafhum. Ternyata mama sibuk di UMKM sebagai narasumber dan Papa sibuk di kantor.

Anak diserahkan kepada tetangga dan tempat les. Ada beberapa hal yang tak bisa digantikan guru les dan tetangga terhadap tumbuh kembang anak.

Pertama, perhatian dan kasih sayang. Kedua, motivasi dan assesment (penilaian). Ketiga, percaya diri dan optimisme anak. Keempat, membaca peluang dan tantangan. Sementara keempat poin ini mereka butuhkan agar percaya diri.

Orangtua manapun tentu berharap anak tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, optimis, dan kreatif. Mampu melihat peluang dan tahan atas tantangan. Pribadi itu bisa membuat anak lebih luwes bersosialisasi di tengah masyarakat, di sekolah, dan dengan orang-orang baru di sekitarnya.

Akibat perilaku orangtua yang kurang tepat, menyebabkan tidak semua anak memiliki kepercayaan diri yang baik. Ketahuilah Ayah Bunda ada 5 faktor penyebab anak tidak percaya diri menurut ahli parenting anak.

Pertama, Kurangnya Perhatian dan Rangsangan dari Orangtua

Para peneliti di McGill University di Montreal, Kanada, setelah melakukan studi menemukan bahwa sifat, kepribadian, dan karakter seorang anak dipengaruhi oleh perilaku orangtuanya ketimbang pengaruh genetika bawaan.

Peran warisan genetika menurut studi itu lebih sedikit menentukan perilaku ketimbang faktor lingkungan yang menjadi model atau contoh yang dilihat dan ditiru anak lebih menentukan percaya diri anak.

Dr Sushma Mehrotra, Magister Psikologi Klinis, Psikolog ini pun meyakini jika orangtua memberikan rangsangan yang benar kepada anak, anak yang biasa-biasa saja pun bisa menjadi cemerlang.

Sebaliknya, jika anak kurang rangsangan, anak yang cerdas sekali pun tak akan mencapai potensi diri secara maksimal.

"Gen yang kita turunkan tidak bisa dikendalikan meski kita yang turunkan kepada mereka, tapi kita bisa memengaruhi sikap, pribadi, dan lingkungan tempat anak-anak kita dibesarkan," kata Sushma.

Orangtua dengan perhatiannya dan rangsangan yang diberikan merupakan pengaruh utama terkuat dalam membentuk nilai dan harga diri anak sehingga muncul menjadi pribadi percaya diri.

Kedua, Lingkungan yang Kurang Kondusif untuk Anak

Faktor kedua yang membuat anak tak percaya diri adalah lingkungan. Ketika interaksi antara anak dengan lingkungan terjadi maka akan terjadi pula proses informasi menjadi keterampilan, pengetahuan, dan sikap pada diri anak sebagai hasil dari proses pembelajaran di lingkungan.

Jika kondisi lingkungan tempat belajar anak kondusif maka ia akan memperoleh informasi positif. Di sekolah ia percaya diri karena informasi yang diperolehnya sama positif dengan lingkungan tempat tinggalnya. Ia pun bisa beradaptasi dengan teman sekolah dan gurunya.

Sebaliknya, jika kondisi lingkungan tempat belajar anak tak kondusif maka ia akan memperoleh informasi negatif. Di sekolah ia tak percaya diri, malu, bahkan menutup diri karena informasi yang diperolehnya tidak sama dengan lingkungan tempat tinggalnya. 

Di sekolah, informasi yang ada positif bertentangan dengan informasi lingkungan belajarnya, negatif. Ia pun tak bisa beradaptasi dengan teman sekolah dan gurunya.

Ia cenderung menjaga jarak dengan temannya atau justru memberi akibat buruk kepada temannya. Ia tak berkonsentrasi belajar karena sibuk memikirkan keterasingan informasi di sekolah dengan informasi di lingkungannya.

Akhirnya, ia jenuh dan bosan, malas belajar. Lama-lama menyiasati cara melepaskan diri dari rutinitas belajar. Tugas pun menumpuk dan diperparah lagi guru tak peduli untuk menyelidiki kasus anak ini.

Baru disadari ketika pertengahan semester. Orangtua juga tak menyadari. Terlambat sudah, nasi sudah menjadi bubur. Inilah siswa yang tak tuntas itu.

Ketiga, Kurang Mendapatkan Kasih Sayang dari Orangtua

Saya masih ingat pengalaman masa kecil di kampung. Orangtua kami petani dan sebagian besar teman sekelas orangtuanya buruh tani upahan. Perilaku orangtua di kampung taklah mengenal istilah kasih sayang, seperti sekadar pelukan atau cium pipi.

Mungkin karena susahnya hidup menjadi petani atau memang tak mengenal ilmu kasih sayang. Jika mau berangkat ke sekolah, berangkatlah. Siapkan dirimu sendiri. Makan pagi pun tak ada. Apalagi uang jajan. Susah sekali kehidupan kala itu.

Hasilnya, hanya 2 dari 30 siswa di Sekolah Dasar kami itu yang masuk perguruan tinggi. Saya dan teman saya Abdul Sani. Konon ia menjadi mantri (perawat) di Medan sana. Selebihnya, tamat sekolah dasar itu saja dan beberapa tamat SMP.

Rasa percaya diri anak ketika itu taklah menjadi perhatian karena sibuk dengan kemiskinan. Ternyata percaya diri sangatlah dipengaruhi oleh dukungan yang didapatkan anak dari kedua orangtuanya dan lingkungannya.

Ketika orangtua sibuk dan tak memperhatikan anak seperti kasus di atas, membuat anak tanpa kita sadari merasa dilupakan, tak diinginkan, atau mereka merasa kehadirannya tak penting. Hal ini berdampak pada rendahnya rasa percaya diri anak. Mereka pun kesepian.

Begitu juga saya rasakan ketika melanjutkan ke SMP yang jauh dari orangtua. Minder, malu, dan merasa rendah diri. Kehidupan teman-teman saya di sekolah ini berlimpah kasih sayang. Mereka tampil modis, rapi, keren, dan bersih meski hanya memakai seragam sekolah.

Mereka murah senyum, ramah, dan penuh kasih sayang kepada teman. Membuat saya semakin merasa kerdil. Satu teman saya sangat perhatian kala itu. Namanya Elsa. Orangtuanya guru.

Darinyalah saya belajar arti percaya diri. Sejak saat itu saya tak mau pilih-pilih teman. Saya berusaha ramah kepada siapapun hingga sekarang. Sebab kasih sayang dan sifat ramah kita selaku teman, orangtua, dan guru menginspirasi orang lain seperti sikap teman saya Elsa.

Keempat, Orangtua Masih Menilai Kemampuan Anak Berdasarkan Capaian Akademiknya

Ayah bunda, jangan bangga dulu ketika anak memperoleh status A semua di rapornya. Sebaiknya ayah bunda lakukan penelitian kecil kepadanya. Ya senyumnya, tatapan matanya, cara berbicaranya, temannya, dan perasaannya. Adakah semua refleks dan normal? Adakah mereka bahagia?

Tak jarang saya menemui mereka di kelas di hari pertama sekolah pada saat kenaikan kelas bersikap kaku seperti penghafal rumus. Susah senyum dan tak mau berbicara. 

Mengapa? Karena tak sedikit orangtua yang hanya menilai kemampuan anak mereka berdasar nilai dan prestasi akademik saja. 

Ketika anak mendapatkan nilai kurang baik, semisal B dan C, terkadang orangtua langsung melabeli anak malas, anak kurang pintar, dan bahkan memarahi mereka karena nilainya yang buruk. Atau Ayah Bunda langsung memberi perbandingan. "Ayah dulu... atau Bunda dulu...."

Stop, cukup kita menorehkan luka di hati mereka. Mereka juga ingin A untuk semua mata pelajarannya. Tapi mereka juga manusia yang memiliki batas kemampuan. Bakat mereka tak semua bidang akademik.

Ketika saya pertama di sekolah baru saya SMP, satu pelajaran sama sekali tak bisa saya taklukkan. Keterampilan. Sekarang bernama pPrakarya. Saat itu tugasnya menjahit. Beragam pola jahitan, jahit strimin, membuat gerabah, dan lain sebagainya. Saya anak kost tak punya orangtua.

Bagaimanalah saya mempelajari semua itu. Akhirnya nilai keterampilan saya 5 di rapor dengan tinta merah. Ketika pulang kampung saya pun terbebani. Takut. Tapi apa daya, saya harus pulang. Apakah karena rindu orangtua atau karena semua orang pulang?

Tiba di rumah, ajaib sekali. Ternyata orangtua saya menyambut ramah. Nampak kerinduan di mata mereka. Semua tersenyum dan seolah ingin menangis ketika menyambut saya. Berpelukan saat bertemu belum lagi membudaya saat itu. Ternyata rindu, membuat mereka melupakan nilai 5 bertinta merah di rapor itu.

Kelima, Orangtua Terlalu Mengekang Anak

Orangtua mana yang tak menyayangi anaknya. Semua orangtua sayang kepada anak. Ibu apalagi yang 9 bulan 10 hari mengandung anaknya. Dibawa ke mana saja. Hujan, panas, dan susah senang tetap berkata lembut kepada janin di perutnya.

Namun, anak butuh ruang untuk dirnya berkembang. Sikap perfeksionis dan bahkan impulsif, ingin selalu melindungi anak akan selalu muncul. Terutama kepada anak cewek.

Sikap itu merupakan suatu hal yang wajar. Tapi, menjadi tak wajar ketika kita menjadi orangtua yang terlalu protektif kepada anak. Bahkan cenderung perfeksionis dan impulsif. 

Misalnya melarang anak untuk melakukan keterampilan memotong kertas dengan gunting, belajar memotong sayuran, dan ikut campur ketika anak belajar membuat keputusan.

Sehingga anak tak pernah diberi kesempatan untuk membuat keputusan sendiri. Hal ini akan membuat anak merasa bahwa mereka tak bisa melakukan sesuatu. Mereka tak percaya diri tanpa bantuan dan kehadiran orangtua. Sementara orangtua tak mungkin mendampingi anak seumur hidup mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun