Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jiwa dan Mental Anak pun Perlu Diawasi

11 Oktober 2022   06:02 Diperbarui: 12 Oktober 2022   13:11 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menulis surat berisi curahan hati salah satu terapi gangguan jiwa | sharingkali.com

Masih segar dalam ingatan saya. Meski tahun sudah lupa. Namun, bila saya kulik lebih dalam pasti tahun kejadian ini ketemu. Untuk apalah tahun bagi pembaca. Tentu kronologis kejadian ini yang paling penting bagi pembaca kompasiana sekalian.

Masih masalah jiwa dan mental. Anakpun butuh diawasi jiwa dan mentalnya. Terutama berusia jolong remaja dan remaja. Usia 10-19 tahun. Usia ini perlu pendampingan orang tua hingga mereka tak merasa kesepian. Sebab, jika mereka kesepian akan muncullah syetan merayu.

Mereka akan melampiaskan kesepiannya dalam bentuk lain. Lumayan hanya bermain game, kongkow dengan circle-nya, tapi sepi bisa memicu mereka merokok, balapan liar, onani atau masturbasi, dan parah lagi bunuh diri dengan menyayat urat nadi di pergelangan tangannya.

Bahkan kini ada trend ABG (Anak Baru Gede) melukai sekujur tubuhnya dengan silet lalu menggunakan darah keluar untuk menulis di diary mereka. Kebiasaan itu mereka dapat dari drama yang mereka tonton.

Self-injury itulah nama penyakit jiwanya. Self-injury adalah perilaku menyakiti dan melukai diri sendiri yang dilakukan secara sengaja. Tindakan ini merupakan salah satu bentuk gangguan perilaku yang berkaitan dengan sejumlah penyakit kejiwaan. Waspadalah.

Demikian juga yang saya temukan pada murid di sekolah. Sebetulnya saya tak mengenalnya. Kebetulan tak mengajar di kelasnya. Saya mengajar kelas 9. 5 kelas dari 10 kelas. Sedang gadis imut ini kelas 8.

"Kenapa di luar, Diva?" Tanya teman piket kala itu.

Saya pun mengalihkan pandangan pada gadis bernama Diva. Gadis berseragam sekolah. Ia menunduk. Nampak gurat sedih di wajahnya.

"Terlambat, Bu." Jawabnya sopan.

"Sini. Isi kartu terlambat ini, ya!" Terang saya.

Ketika ia mengeluarkan tangan mungilnya hendak menulis, saya kaget melihat tangan kanannya dibalut perban memakai kasa putih. Sayapun bertanya kenapa dengan tangannya. " Sakit, Bu." Jawabnya gugup. Ia menutup tangannya.

"Bunuh diri, Diva? Tanya teman lagi. Nampak ia santai mengajukan pertanyaan itu. Saya khawatir.

Diva terdiam. " Bentar Diva. Ayo ikut ibu ke ruang shalat guru, Nak!" Tarik saya. " Bentar, Ni!" (Kakak pr di Sumbar) Pamit kepada teman piket."Kenal Bu Lita tadi, Diva?" Tanya saya sambil membimbingnya

"Teman ayah,Bu." Jawabnya getir. Saya pun hanya ber-oh saja.

Di ruang shalat sayapun menyuruhnya duduk dan berbincang. Perban di tangannya saya buka. Nampaklah bekas sayatan di sana. Tak dalam. Belum mengenai urat nadinya. Sayapun sedih dan memeluknya, memijat pundaknya, lalu membungkus luka itu. Air mata kami pun mengalir menganak sungai.

"Yakin kamu ada masalah, Nak. Masalahmu pasti berat hingga mau melukai tanganmu. Sekarang ambil kertas dua lembar dan pena. Ada, kan?" Tanya saya berlinang air mata. Ia juga begitu. Ia tampak bingung dengan perintah ini. Namun, tetap mengeluarkan yang diminta.

"Diva, kita belum kenal, ibu tak mengajar di kelas Diva. Tapi meski baru ketemu dan kenal, ibu sayang padamu, Nak. Ibu akan bantu kamu meski ibu tak tahu masalahmu. Ibu tahu kamu pun pasti sungkan bercerita karena kita baru kenal."

"Diva diciptakan siapa, Nak?" Tanya saya.

"Allah." Jawabnya pendek.

"Bukan diciptakan mama dan papamu?" Tanya saya lagi memegang dagunya. Ia menggeleng.

"Benar, yang menciptakan, ibu, kamu, mama papamu, adik-adikmu, yang ada di langit dan di bumi diciptakan Allah. Allah Maha Mengetahui. Tanpa kamu ucapkanpun Allah tahu masalahmu." Saya pegang tangannya. Saya tatap matanya.

"Sekarang, curhatlah, tulislah surat kepada Allah, kepada yts. Allah SWT ceritakan semua yang kamu rasakan.  Jangan ada yang tersisa. Siapa yang kamu sayang, puja, benci tulis di sana, adukan kepada Allah."

"Nanti sesudah kertas penuh, robek-robeklah menjadi serpihan kecil seolah kamu merobek masalahmu. Cukup kamu dan Allah yang tahu, yang kamu tulis." Saya melanjutkan penjelasan.

Iapun mengangguk. Terlihat matanya lega. "Ibu takkan baca suratmu. Ibu hanya akan melihat sudah penuhkah dan melihat kamu merobek-robek masalahmu."

Saya menepuk bahunya, lalu pergi meninggalkannya sendirian. Sambil berujar, "Diva, ibu di ruang guru, nanti ibu kembali 15 menit lagi." Saya pun kembali ke ruang piket dengan Ni Lita.

"Orang tua Diva itu kawan uni. Mereka merantau di Jakarta. Anak 4. Semua perempuan. Ayah Diva sakit, istrinya meninggalkannya. Biaya anak berbagi, 2 dibiayai ayahnya dan 2 dibiyai ibunya. Diva ini pemalas. Piringnya saja tak tercuci olehnya. Ibu kosnya mengadu sama uni."

"Iya, bunuh diri Diva, Na?" Tanya uni Lita santai. Saya balas anggukan. Cerita uni lita pun mengalir lagi tentang keluarga Diva. Yang jelas membuat saya semakin iba dan prihatin kepada Diva. Masalah Diva bukan soal uang tapi soal perhatian. Kesepian.

Teringat saya waktu kecil dengan empat adik kecil-kecil. Mama selalu marah karena saya katanya pemalas tak bisa membantu beliau mengurusi rumah dan adik-adik. Itu pula yang menimpa Diva kecil hari ini. Bedanya, mama saya petani sedang mama Diva pelayan toko dan pulang kerja sama, jelang Maghrib.

Saya pun kembali ke ruang shalat gurun setelah 20 menit. Diva saya dapati masih sesenggukan.  Ia memperlihatkan kertasnya. Sudah penuh. Matanya bengkak. Pipi memerah. Saya pun beri kode agar ia merobek kertas surat itu. Saya bantu hingga berupa serpihan.

Sambil merobek kami tanya jawab,ia pun bercerita persis seperti cerita Uni Lita, hanya saja tersirat keinginan Diva untuk bersatu lagi ayah ibunya. Tersirat juga bahwa ia menyalahkan ibunya. Tentu Diva tak menyadari bahwa hidup di Jakarta itu berat daripada di Kampung ini, Padang Panjang.

Saya biarkan ia bercerita hingga tak ada air mata lagi. Bahkan senyum malu muncul di bibir merahnya. Saya ajak ia untuk tinggal di rumah saya. Ia pun menolak dengan halus. Lalu saya ambil kesempatan di balik kesempitan. Boleh tetap di kos tapi jangan diulang lagi perbuatan ini.

Ia pun mengangguk setuju. Kami menautkan jari kelingking. Sambil saya mengancam bahwa kami harus berteman. Sekali lagi terjadi kasus ini maka wajib pindah ke rumah saya. Kami tersenyum. Sejak itu kami bersahabat. Tiap hari saya mengunjunginya ke kelas hingga tangannya sembuh.

Selanjutnya kami hilang kontak, namun dari adik-adiknya yang menjadi murid saya berikutnya, saya ketahui bahwa ia sudah kuliah. Ia sudah bergabung bersama mama dan adiknya.

Menulis surat berisi curahan hati salah satu terapi gangguan jiwa | sharingkali.com
Menulis surat berisi curahan hati salah satu terapi gangguan jiwa | sharingkali.com

Saya cuma mengawasinya dan menerapinya lewat sepucuk surat kepada Allah, ternyata jiwa dan mentalnya terselamatkan.

Yusriana berbagi pengalaman dengan Kompasiana, Padang Panjang, 11 Oktober 2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun