Ketika ia mengeluarkan tangan mungilnya hendak menulis, saya kaget melihat tangan kanannya dibalut perban memakai kasa putih. Sayapun bertanya kenapa dengan tangannya. " Sakit, Bu." Jawabnya gugup. Ia menutup tangannya.
"Bunuh diri, Diva? Tanya teman lagi. Nampak ia santai mengajukan pertanyaan itu. Saya khawatir.
Diva terdiam. " Bentar Diva. Ayo ikut ibu ke ruang shalat guru, Nak!" Tarik saya. " Bentar, Ni!" (Kakak pr di Sumbar) Pamit kepada teman piket."Kenal Bu Lita tadi, Diva?" Tanya saya sambil membimbingnya
"Teman ayah,Bu." Jawabnya getir. Saya pun hanya ber-oh saja.
Di ruang shalat sayapun menyuruhnya duduk dan berbincang. Perban di tangannya saya buka. Nampaklah bekas sayatan di sana. Tak dalam. Belum mengenai urat nadinya. Sayapun sedih dan memeluknya, memijat pundaknya, lalu membungkus luka itu. Air mata kami pun mengalir menganak sungai.
"Yakin kamu ada masalah, Nak. Masalahmu pasti berat hingga mau melukai tanganmu. Sekarang ambil kertas dua lembar dan pena. Ada, kan?" Tanya saya berlinang air mata. Ia juga begitu. Ia tampak bingung dengan perintah ini. Namun, tetap mengeluarkan yang diminta.
"Diva, kita belum kenal, ibu tak mengajar di kelas Diva. Tapi meski baru ketemu dan kenal, ibu sayang padamu, Nak. Ibu akan bantu kamu meski ibu tak tahu masalahmu. Ibu tahu kamu pun pasti sungkan bercerita karena kita baru kenal."
"Diva diciptakan siapa, Nak?" Tanya saya.
"Allah." Jawabnya pendek.
"Bukan diciptakan mama dan papamu?" Tanya saya lagi memegang dagunya. Ia menggeleng.
"Benar, yang menciptakan, ibu, kamu, mama papamu, adik-adikmu, yang ada di langit dan di bumi diciptakan Allah. Allah Maha Mengetahui. Tanpa kamu ucapkanpun Allah tahu masalahmu." Saya pegang tangannya. Saya tatap matanya.