Setelah rumah dikontrakkan barulah Rini tahu eteknya berhutang banyak. Sekarang etek Rini sudah pindah ke Jawa karena suaminya pindah tugas.
Rini pernah bertanya kepada sepupunya Tutik. Ngapa etek banyak hutang? Kata Tutik, etek cuma ngandelin gaji Pak Etek. Jelas kuranglah. Anak etek tiga. Ketiganya kuliah di Jawa. Gaji Pak Etek di Koramil saja pemasukan keluarga mereka kata Tutik.
Sebetulnya gaji pegawai itu berapaan, pikir Rini dalam hati waktu itu. Dilihat gaya hidup mereka biasa saja. Makanan di rumah pun menunya standard. Tempe, tahu, sayur, kadang ikan laut, kadang ayam dipotong kecil, dan sesekali daging atau telur ukuran paling kecil.
Belum sampai otakku ke sana kata Rini dalam hati waktu itu. Rini pun membuang pikiran tentang hutang eteknya.
Setelah keluarga eteknya pindah, Rini pun tinggal di Secata. Komplek tentara. Ada gedung bekas rumah sakit zaman penjajahan Belanda yang kosong. Â Gedung itu memiliki 8 kamar saling berhadap-hadapan. Layaknya ruang rawat rumah sakit.
Mereka berempat satu kamar. Kamarnya besar-besar seperti ruang keluarga. Semua kamar penuh anak-anak kuliah. Ada beberapa anak SMA. Mereka berasal dari Sibolga, Palembang, Lampung, Bengkulu, Jambi, dan Sarolangun.
Mereka terlihat kompak. Bila makan mereka makan bersama di ruang tamu. Ruang tamu itu mirip ruang tunggu pasien. Di sebelah kiri ruang pasien gerbang Secata. Selalu ada prajurit piket di sana.
Sebelah kanan ruang tunggu ada rumah salah satu senior tentara. Di rumah itu istri beliau buka warung nasi. Di sinilah Rini dan teman-teman menonton televisi jika malam hari.
Warung itu selalu ramai dikunjungi pelatih dan prajurit tentara. Kadang di antara mereka ada yang usil kepada Rini dan kakak se kosannya.
Prajurit itu suka mengomentari pakaian yang Rini pakai dan teman se kosan. Rini memang tak fashionable. Ia memilih baju suka norak dan corak aneh. Kadang corak harimau.
Nah, kalau pas Rini memakai baju itu, pasti si abang tentara komen sambil tertawa cekikikan.