Pembaca pun akan cendrung malas membacanya. Padahal postingan kita keren dan aktual. Tapi pas melihat tumpukan paragrafnya gendut, mata pembaca jadi malas, karena berat.
Apalagi kita membaca memakai metode cepat dan sekilas. Ketika melihat paragraf gendut dan panjang mata jadi lelah.
Ketika saya membaca tulisan kategori PE (Pilihan Editor), saya pun baru sadar. Wajar mereka PE. Kalimat e pendek-pendek. Paragraf ramping jadi terkesan elegan.
Demikian pula ketika kita berada pada platform puisi, tak nyaman jika melihat 3 baris dalam satu bait. Puisi kurang pas jika dipatok 3 baris satu bait. Sedangkan  kebiasaan kita menulis puisi, biasanya guru bahasa mengajarkan 4 larik satu bait.
Ketika kita tulis tanpa enter pemenggalan katanya di platform, kurang tepat pula platform memenggal. Lalu saya amati puisi kompasianer tentang angkasa gitu ya dan puisi ini masuk PE, baru saya faham ternyata si pengarang mengkondisikan puisinya dalam 3 baris per bait.
Ini menjadi sebuah dilema.Â
Untuk tulisan artikel selain puisi, cantik 3 kalimat satu paragraf. Tapi untuk puisi kurang pas jika kita terapkan 3 baris satu bait. Karena puisi sejatinya bukan kalimat-kalimat tapi larik-larik.
Semoga ke depan ada perbaikan platform puisi sehingga ke depan pengarang puisi tak frustasi dalam mengelompokkan bait-baitnya.
Meskipun pada perkembangannya puisi ada yang bebas dari segi jumlah kata dalam satu larik, jumlah larik dalam satu bait,dan jumlah bait dalam satu tubuh puisi. Namun, harapan kita kedepan ketika menulis kita bisa memilih model yang bagaimana yang mau kita sajikan.
Mari kita bandingkan pembaitan puisi berikut dari tampilan perwajahan antara berbait dan tak berbait. Ini penggalan puisi dokpri saya sendiri. Dengan judul: Aplikasi di Hari Libur dengan Generasi Penolak Bencana
Seperti powerrangeskan tapi mengapa tiap tahun engkau berubah terus tanpa bisa berjalan sendiri menemui pengguna-penggunamu tanpa internet dan kuota.