Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ketika Paragraf Menyapa Kita dengan Jumlah Kalimat yang Lebih dari 3 Titik

4 Juli 2022   15:54 Diperbarui: 7 Juli 2022   11:46 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
senyum : sumber foto klikdokter.com

Pertama latihan menulis di dunia jurnalistik, kakak senior bilang, " Paragrafnya tak usah panjang kali lebar, Dek." Katanya di dekat telinga.

Kamipun menoleh serentak ke arah kakak senior. Biasanya dalam Pelajaran Bahasa Indonesia, guru mengatakan harus lebih dari 2 kalimat satu paragraf. 

Ini baru mau menulis kalimat ke 3 paragraf si kakak udah protes. Akhirnya kuputuskan satu paragraf 3 kalimat saja.

Ketika bulan April lalu saya mengikuti pelatihan pembuatan PTK, Penelitian Tindakan Kelas si pelatih malah menyuruh lebih dari 3 kalimat 1 paragraf.

Sempat bingung juga sih. Nah, baru saya dapat jawaban dan logis ketika saya bikin domain. Ketika menulis artikel di domain itu saya bikin paragraf seperti saat saya mahasiswa dan saat bikin PTK. 

Perhatikan foto dokpri di bawah ini.

Dokpri
Dokpri

Waduh...

Tak cantik tampil di android begini kan? Kepanjangan. Pembaca kita akan malas membacanya. Misalnya skripsi, tesis, atau karya ilmiah memang tampil begitu. Tapi untuk bacaan di android penyusunan paragraf seperti itu membuat pembaca berpaling.

Tapi mari kita bandingkan dengan foto berikut. Dokpri juga.

Dokpri
Dokpri

Cantik, lapang, dan nyaman pembaca kita menikmati tulisannya.

Sekarang dunia digital. Teman pembaca kita, kata kakak senior, membaca tulisan kita di Hp atau android. Makanya penampilannya sebaiknya:

1. Dalam satu paragraf cukup 3 kalimat saja;

2. Jarak antara paragraf satu dengan berikut 1 ketukan enter;

3. Tak usah perhitungkan kalimat utama;

4. Tak usah perhitungkan kalimat penjelas;

5. Menulis saja dan penggal saja menjadi 3 kalimat per paragrafnya.

Ketika tulisan sudah diposting, cek kembali apakah ada paragraf yang memuat banyak kalimat dalam satu paragraf. Sehingga paragraf terlihat berat.

Pembaca pun akan cendrung malas membacanya. Padahal postingan kita keren dan aktual. Tapi pas melihat tumpukan paragrafnya gendut, mata pembaca jadi malas, karena berat.

Apalagi kita membaca memakai metode cepat dan sekilas. Ketika melihat paragraf gendut dan panjang mata jadi lelah.

Ketika saya membaca tulisan kategori PE (Pilihan Editor), saya pun baru sadar. Wajar mereka PE. Kalimat e pendek-pendek. Paragraf ramping jadi terkesan elegan.

Demikian pula ketika kita berada pada platform puisi, tak nyaman jika melihat 3 baris dalam satu bait. Puisi kurang pas jika dipatok 3 baris satu bait. Sedangkan  kebiasaan kita menulis puisi, biasanya guru bahasa mengajarkan 4 larik satu bait.

Ketika kita tulis tanpa enter pemenggalan katanya di platform, kurang tepat pula platform memenggal. Lalu saya amati puisi kompasianer tentang angkasa gitu ya dan puisi ini masuk PE, baru saya faham ternyata si pengarang mengkondisikan puisinya dalam 3 baris per bait.

Ini menjadi sebuah dilema. 

Untuk tulisan artikel selain puisi, cantik 3 kalimat satu paragraf. Tapi untuk puisi kurang pas jika kita terapkan 3 baris satu bait. Karena puisi sejatinya bukan kalimat-kalimat tapi larik-larik.

Semoga ke depan ada perbaikan platform puisi sehingga ke depan pengarang puisi tak frustasi dalam mengelompokkan bait-baitnya.

Meskipun pada perkembangannya puisi ada yang bebas dari segi jumlah kata dalam satu larik, jumlah larik dalam satu bait,dan jumlah bait dalam satu tubuh puisi. Namun, harapan kita kedepan ketika menulis kita bisa memilih model yang bagaimana yang mau kita sajikan.

Mari kita bandingkan pembaitan puisi berikut dari tampilan perwajahan antara berbait dan tak berbait. Ini penggalan puisi dokpri saya sendiri. Dengan judul: Aplikasi di Hari Libur dengan Generasi Penolak Bencana

Seperti powerrangeskan tapi mengapa tiap tahun engkau berubah terus tanpa bisa berjalan sendiri menemui pengguna-penggunamu tanpa internet dan kuota.

Aplikasi aku sudah selesai menyalami kotak-kotakmu yang manja dengan ujung jari telunjukku yang lentik tapi tak bisa lagi dibawa menari karena sudah kaku mencuci dan memasak.

Kau manja sekali aplikasi harus diprin dan meminta dibedaki tanda tangan dan stempel berwarna blue barry. Aku mengira dengan menyalami kotak-kotakmu semua sudah selesai tapi kau tetap serumit mesin tik di kantor desa ayahku harus diprit juga menghabiskan kayu-kayu di kampungku untuk berubah wujud menjadi kertas berpoles tanda tangan dan stempel.

Itu, perwajahan puisi dalam bait-bait;

Di bawah ini;

Seperti powerrangeskan tapi mengapa tiap tahun engkau berubah terus tanpa bisa berjalan sendiri menemui penggun-penggunamu tanpa internet dan kuota.
Aplikasi aku sudah selesai menyalami kotak-kotakmu yang manja dengan ujung jari telunjukku yang lentik tapi tak bisa lagi dibawa menari karena sudah kaku mencuci dan memasak.
Kau manja sekali aplikasi harus diprin dan meminta dibedaki tanda tangan dan stempel berwarna blue barry. Aku mengira dengan menyalami kotak-kotakmu semua sudah selesai tapi kau tetap serumit mesin tik di kantor desa ayahku harus diprit juga menghabiskan kayu-kayu di kampungku untuk berubah wujud menjadi kertas berpoles tanda tangan dan stempel.

Ini perwajahan puisi tanpa bait. 

Sungguh tak indah dipandang mata. Mata kita pasti condong pada wajah puisi berbait-bait. Sesuai pepatah Minang 'mato condong ka nan rancak salero condong ka nan lamak.' Artinya mata manusia suka melihat penampilan bagus dan selera manusia suka pada yang enak-enak.

Demikian juga penulisan tulisan harus kita perhatikan:

1. Huruf Kapital pada judul dan nama;

2. Setiap huruf awal kata ditulis besar kecuali kata hubunng dan kata depan;

Contoh : Menyiasati Ayam Krispi yang Krenyezz

yang ditulis kecil semua karena kata hubung/kata sandang.

3. Gunakanlah kalimat pendek-pendek biar enak dibaca;

4. Jika terpaksa kalimat panjang gunakan pembatas klausa tanda baca koma;

Contoh : Bapres kita Joko Widodo memang sudah terkenal unik sejak beliau menjabat sebagai Gubernur DKI, makin unik lagi ketika beliau mencalonkan diri jadi presiden dengan pemilihan kostum unik, baju kemeja kotak-kotak berwarna ungu, dan ketika terpilih jadi presiden malah menggemari kostum kerja kemeja putih dan celana dasar hitam, unik memang.

Kadang penulis tak bisa menghindari kalimat panjang itu. Maka kita batasi dengan tanda baca koma.

Pada undang-undang sering kita temui kalimat-kalimat panjang itu sehingga kita malas membaca undang-undang atau peraturan-peraturan.

Tampilan tulisan cantik di android menjadi daya saing buat kita menulis hari ini. Karena selera pasar suka yang praktis. Mudah dibaca sekilas. Mudah dibaca cepat. Kalau panjang malah membuat mengantuk.

Mari kita berbagi ilmu demi pembelajaran Bahasa Indonesia tetap terbaik. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun