Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... Guru - GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hujan di Malam Ini (Episode 2)

30 Juni 2022   11:17 Diperbarui: 7 Juli 2022   08:03 367
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hai, kompasianer ... 

Sudah baca Hujan Malam Ini episode 1

Ini lanjutan episode duanya. Maaf bila kurang menghibur.

Baca juga: Hujan di Malam Ini

Daun cerek di tapi banda

Kalau rabah tolong tagakkan

Ambo ketek baru baraja 

Kalau salah tolong tunjukkan

Air mata Rini terus mengalir bersama derasnya air hujan.
Ia tak menghiraukan air matanya. Toh, dihapus pun percuma gak ngaru  karena hujan pun berlomba untuk membasahi pipi tirusnya yang putih mulus. 

Perlahan Rini turun dari motornya. Diraihnya dua koper itu. Satu koper paling besar ditaruh di boncengan dan koper ukuran sedang ia taruh di tempat kaki motornya.

Tujuannya sekarang pulang ke rumah mami. Ya, kemana lagi kalau bukan ke rumah mami. Tak mungkin ia pergi ke rumah saudara sepersatuannya atau rekan kerjanya. Malu tentunya. Apalagi dalam kondisi basah kuyup dengan dua koper besar. Matanya pun pasti bengkak.
Lebih baik ke rumh mami. Aman.

Mami paling nanti senyum lalu berkomentar, "Ke mana suamimu, Rin?"
Selalu itu saja yang ditanya mami. Tak pernah beliau kepo mengapa Rini kehujanan, basah, bawa koper. Beliau anteng aja. Seolah Rini datang tak berduka.

Ini ketiga kalinya Rini datang ke rumah mami. Selalu bersuasana basah. Hujan dan dua koper besar.
Kedatangan pertama suami Rini marah karena ia terlambat pulang dari Danau Maninjau. Guru-guru pergi berwisata ke sana usai mengadakan lokakarya.

Waktu itu rencananya hanya bermain di tepi danau. Tapi tiba-tiba salah seorang rekan Rini mendapat telepon bahwa rumah salah seorang anak kosnya terbakar. Anak itu sekolah di tempat mereka mengabdi.
Kepala pun berinisiatif untuk langsung meninjau ke lokasi. 

Mereka pun berangkat. Sebetulnya Rini gelisah. Ingin pamit duluan pulang. Ia takut pulang terlambat. Wajah sinis suaminya pun menari-nari di pelupuk matanya. Wajah lembut tapi berucapan kasar. Telunjuknya kasar menunjuk-nunjuk kening Rini.

Oh Tuhan, bagaimana ini? Sebisanya Rini berwajah tenang. Ia pun berpikir dengan tenang. Namun, mobil tetap berjalan. Tanpa ia sadari mereka telah sampai di lokasi.


Terpampanglah separuh rumah berbahan kayu itu telah datar dengan tanah.
Tangis pilu anak-anak bersahutan. Seorang ibu muda seusia dengannya pun menangis. Di sampingnya nampak seorang lelaki terbujur kaku dengan tubuh hangus terbakar. Tubuh itu menghitam terpanggang si jago merah.

Di sudut lain dekat rumah berbahan tembok duduk pula seorang nenek sambil menghapus air matanya dengan ujung selendangnya. Pemandangan memilukan.

Warga tak begitu ramai di sini. Rumah penduduk hanya berkisar 20 rumah tanggaan di dekat lokasi. Sebagian berjarak pula dibatasi petak sawah.

Tiba-tiba Rini tak menyesali datang ke lokasi ini. Ia siap suami posesifnya marah. Secara naluri, ia pun mendekati si ibu muda dan temannya yang lain memangku anak-anak. Ada tiga anak beda usia itu.

Jika dilihat satu berumur delapan tahunan, satu lagi usia TK dilihat dari seragam yang ia pakai. Paling kecil dalam gendongan susi rekannya berusia 2 atau 3 tahunan.

Rini memeluk ibu muda itu. Ia rasakan pedihnya ditimpa musibah. Apalagi mendapati suami meregang nyawa sendiri.


Rini pun turut menangis. Entah menangis karena murni musibah atau karena himpitan masalah rumah tangganya. Siapa yang tahu. Mata memandang pasti membenarkan hati bahwa ia menangis karena prihatin dan sedih atas musibah ibu muda itu.


Beratnya cobaan hidup yang akan ia hadang ke depan bersama ibu suaminya dan keempat anaknya. Bagaimana masa depan mereka. 

Siapa dan  tangan mana yang akan terulur meringankan bebannya.
Suara ambulan pun meraung menyayat hati. Empat pria muda berseragam putih turun. Mereka mengangkat tandu rumah sakit itu.


"Kita bawa ke Padang ya Bu. Suami ibu, denyut nadinya masih ada." Kata salah seorang dari mereka memberi harapan.

Semua mendadak sunyi. Anak-anak tak menangis lagi. Rini dan ibu muda itupun saling merenggangkan diri. Nenek di sudut sisa rumah terbakar pun mendekat dipapah kepala.


Semua bergerak mendekati tandu dan ambulan. Susi dan ibu muda naik ke ambulan. Rini dan yang lain memapah nenek ke bus sekolah. Terlihat Bu Rita  berbisik kepada ibu muda. Ia pun mengangguk.


Anak-anak pun diintruksikan Bu Rita untuk dinaikkan ke bus sekolah. Jadilah Rini memangku si bungsu. Dua lagi dipangku Mita dan Dini.


Rekan Rini bernama Rudi terpaksa berdiri karena si nenek lebih butuh.


"Mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak," kata kepala memulai pidatonya  di bus. 

Di bus memang sedia karaoke jika guru-guru melakukan perjalanan. Menghibur diri kata Pak Man salah satu guru Seni Budaya di sekolah Rini mengabdi.


Nenek dan Ananda bertiga harus sabar. Ini musibah. Tak ada di antara kita yang menginginkan. Semua atas izin Allah. Ada hikmah di balik musibah. Kita saat ini belum tahu hikmahnya apa. Suatu hari pasti akan kita jumpai hikmah itu. Jadi sabarlah.

Di balik musibah ada kabar gembira. Jangan berlarut menangis sebaiknya kita berdoa agar diberi Allah yang terbaik. Mari kita berdoa di dalam hati bersama-sama." Tutup kepala.


Tiga jam mereka pun sampai di rumah sakit M.Jamil Padang. Ternyata sudah ramai handai taulan ibu muda itu di sana. 

Mereka pun bertangis-tangisan. Perawat-perawat sibuk mendorong brankar. Si nenek dibimbing duduk ke kursi. Anak-anak pun diserahkan kepada handai taulan ibu muda itu. Nampak sekali mereka menyayangi anak-anak itu. 

Sambil menangis mereka ciumi anak-anak itu. Begitu haru tonjolan kasih sayang mereka. Tiada kata-kata. Hanya tangis dan pelukan yang bicara. Kami sayang kalian.

Kepala dan Bu Rita mendekati keluarga itu. Bisik-bisik dan mengangguk hanya itu yang terlihat. Hingga kepala melambai kepada kami. Cukup itu instruksi kami harus kembali.


Sesampai di bus sepi kembali menyapa hati Rini. Gelisah bertalu-talu menghamtam ngilu hatinya. Wajah putih tirusnya berkabut. Orang yang melihat pasti mengira ia masih berkabung atas peristiwa tadi. 

Padahal, jauh di dasar hatinya untuk peristiwa itu ia sudah lega. Ibu muda, si nenek, dan anak-anak sudah aman bersama handai taulannya. Sekarang ia gelisah karena akan pulang menuju rumah. Ambang batas waktunya di luar rumah sudah melampaui batas. 

Tak bisa ia bayangkan peristiwa besar di rumahnya. Penambahan waktu tiga jam ke Padang dan 2,5 jam ke rumahnya apakah akan bisa ditolerir suaminya.


Androidnya tak mungkin bisa meyakinkan suaminya jika ia telah melakukan amal mulia hari ini. Sekarang pun benda ajaib itu sudah mati karena lupa ia cas sejak kemarin. 

Ia memang tak terlalu menaruh perhatian kepadanya. Hp itu serasa barang tak berguna baginya. Menyusahkan saja bila hidup. Jika Hp itu hidup akan banyak datang pesan berantai. 

Dari ibunya di kampung minta renovasi ini dan itu. Saudaranya di Medan, minta tambahan modal, mamaknya, pak aciknya berlomba-lomba mengirimi pesan. Semua pesan mereka masuk akal dan membuatnya tak punya pilihan selain harus transfer.

Begitupun dari keluarga suaminya. Berlomba mengadu nasib untuk mendapat pinjaman atau bantuan. Sayangnya alasan mereka juga masuk akal sehingga membuatnya lagi harus transfer.


Jika android itu mati sejenak hidupnya aman, tenterem, dan adem. Tidak harus pergi ke pegadaian buat nambah pinjaman. Kadang ia berterima kasih kepada lupa. Lupa menyelamatkannya dari transfer sejenak.

Mereka telah sampai di sekolah. Rini dan rekan-rekannya pun turun. Setelah pamit ia menuju parkiran motor. Jam tangannya menunjuk pukul 21.30 WIB. Tak terlalu larut sebetulnya untuk pulang bagi orang yang pergi raun atau jalan-jalan.


Terang benderang rumah Rini pertanda suaminya ada di rumah. Ia pun membelokkan motornya memasuki halaman. Ia parkirkan motornya dengan degup jantung tak beraturan. Ia pasang awas telinganya ketika pintu berderit tanpa ia sentuh.


Trakkkk...

Satu terjangan keras menghantam pinggul kananya. Ia sempat menyerongkan badan bersama suara pintu terbuka. Tendangan meleset 50 persen ke motor. Makanya mengeluarkan bunyi keras. 

Tangannya ditarik kasar tanpa suara. Sampai di ruang tamu berukuran 3,5x5 itu, tas di tangannya dirampas. Isi tas dibuang ke luar rumah. Menyusul tas.


"Apa guna Hp ini?" Prangggggggg...


Benda ajaib itu jatuh berkeping-keping.


"Sudah berapa kali dibilang, pulang ke rumah paling lambat pukul 18.00..." katanya meradang sambil berjalan menuju sudut ruangan. Ia mendorong dua koper besar.

"Pergi dari sini!" Usirnya.


Rini meraih dua koper itu. Ia menariknya keluar. Untuk sementara lebih baik menjauh daripada nyawa melayang sia-sia.


Ia pun menaruh koper besar di boncengan dan koper lebih kecil sedikit di bawah kakinya. Ia punguti isi tasnya dan memasukkannya ke dalam tas.


" Aku ke rumah mami! " Teriaknya memaksakan diri. Air mata pun tak bisa ia tahan lagi.

Bersambung

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun