Di balik musibah ada kabar gembira. Jangan berlarut menangis sebaiknya kita berdoa agar diberi Allah yang terbaik. Mari kita berdoa di dalam hati bersama-sama." Tutup kepala.
Tiga jam mereka pun sampai di rumah sakit M.Jamil Padang. Ternyata sudah ramai handai taulan ibu muda itu di sana.Â
Mereka pun bertangis-tangisan. Perawat-perawat sibuk mendorong brankar. Si nenek dibimbing duduk ke kursi. Anak-anak pun diserahkan kepada handai taulan ibu muda itu. Nampak sekali mereka menyayangi anak-anak itu.Â
Sambil menangis mereka ciumi anak-anak itu. Begitu haru tonjolan kasih sayang mereka. Tiada kata-kata. Hanya tangis dan pelukan yang bicara. Kami sayang kalian.
Kepala dan Bu Rita mendekati keluarga itu. Bisik-bisik dan mengangguk hanya itu yang terlihat. Hingga kepala melambai kepada kami. Cukup itu instruksi kami harus kembali.
Sesampai di bus sepi kembali menyapa hati Rini. Gelisah bertalu-talu menghamtam ngilu hatinya. Wajah putih tirusnya berkabut. Orang yang melihat pasti mengira ia masih berkabung atas peristiwa tadi.Â
Padahal, jauh di dasar hatinya untuk peristiwa itu ia sudah lega. Ibu muda, si nenek, dan anak-anak sudah aman bersama handai taulannya. Sekarang ia gelisah karena akan pulang menuju rumah. Ambang batas waktunya di luar rumah sudah melampaui batas.Â
Tak bisa ia bayangkan peristiwa besar di rumahnya. Penambahan waktu tiga jam ke Padang dan 2,5 jam ke rumahnya apakah akan bisa ditolerir suaminya.
Androidnya tak mungkin bisa meyakinkan suaminya jika ia telah melakukan amal mulia hari ini. Sekarang pun benda ajaib itu sudah mati karena lupa ia cas sejak kemarin.Â
Ia memang tak terlalu menaruh perhatian kepadanya. Hp itu serasa barang tak berguna baginya. Menyusahkan saja bila hidup. Jika Hp itu hidup akan banyak datang pesan berantai.Â
Dari ibunya di kampung minta renovasi ini dan itu. Saudaranya di Medan, minta tambahan modal, mamaknya, pak aciknya berlomba-lomba mengirimi pesan. Semua pesan mereka masuk akal dan membuatnya tak punya pilihan selain harus transfer.