Butuh waktu 30 puluh menit pula  mereka untuk shalat. Rini sedikit lega karena sudah shalat. Mereka pun melanjutkan perjalanan. Ternyata di depan macet sudah menghadang. Pasar tumpah sedang ramai-ramainya truk sayur memuat barang. Jadilah perjalanan mereka tertunda hampir satu jam dari pasar tumpah ke sekolah. Adzan Maghrib berkumandang ketika mereka tiba di gerbang sekolah. Apalah daya nasi sudah jadi bubur bisik hati Rini. Shalatlah dulu baru pulang.
Handpone Rini tiba-tiba bergetar. Ketika mau mengangkat ternyata handponenya meredup. " Ah iya. Aku belum cas handpone dari pagi. " Katanya sambil mengedarkan pandangan kepada rekan-rekannya.Â
"Aduh gimana tuh Rin. Entar suami kamu meradang loh." Kata Nana teman satu jurusannya.
"Pasrah aja, Na. " Gimana lagi.
" Udah deh kita pulang aja, Na. Pulang semua ya... !" Teriaknya sambil melambai tangan. Entah apa yang bakal terjadi di rumah ini. Rutuknya dalam hati. Ia pun segera mengeluarkan motor varionya. Menaikinya dan menstaternya. Sial motor itu tak mau kompak dengannya. Motor itu tak mau hidup.
" Yah, Rini. Sial banget dah kamu hari ini. Bisik Tel salah satu teman kerjanya sinis. Guru senior itu memang rada sinis kepadanya selama honor di sekolah ini. Kini meskipun ia sudah PNS lewat jalur pengangkatan honorer tahun 2005, tapi Buk Tel masih tetap sinis padanya. Mungkin ada salahnya yang tak termaafkan oleh senior itu.
Pernah ia masuk ke ruang majelis guru sambil berkeluh, ' Ah lelahnya hari ini.' Lalu Bu Tel menanggapinya dengan kasar, ' Lelah ya pensiun.' Kata Bu Tel. Terpaksa ia urut dada saja sambil berucap aku sudah memaafkan Bu Tel ya Allah.
" Kenapa Rin? Ngak bisa hidup? Belum jadi kamu ganti aki motormu?" Tanya salah satu guru pria di sekolahnya. Ia cuma bisa senyum. Pengen sih ganti aki tapi uangnya keburu dipake terus buat nambah cicilan rumah dan mobil suaminya.
Roun...roun...roun. Motor Rini meraung-raung setelah diengkol teman kerjanya. Rini pun berterima kasih lalu pamit dan cabut. Sampai di dekat terminal sekitar satu kilo dari sekolahnya, hujan lebat turun Kota ia tinggal memang dijuluki juga kota hujan dan kota dingin. Ia terpaksa menantang hujan itu. Sudah terlalu molor jam pulangnya. Ia menghadang hujan itu dengan derai air  mata. Pupus sudah harapannya sampai di rumah dengan selamat. Sambil berurai airmata ia melajukan motornya hingga tiba di depan rumahnya.
Air matanya semakin deras manakala melihat pintu pagar terkunci. Rumah gelap. Tangisnya makin terisak ketika melihat dua koper besar berdiri di depan pagar itu. Koper itu miliknya. Dibeli ketika mereka menikah 7 tahun lalu. Â Selesai sudah rumah tangganya. Suami posesifnya telah mengusirnya dari rumah mereka. Ternyata ancamannya tidak main-main. Sekali lagi kamu pulang telat dari jam kamu harus pulang, lihat konsekuensinya. Itulah peringatan suami posesifnya hari itu. Biasanya, jika ia telat paling suaminya lempar handpone kemudian memaafkannya kembali.Â
Akhirnya, Ia hanya bisa meraung menantang derasnya hujan malam ini.