Masih segar diingatanku ketika itu aku meminta tolong kepada adikku untuk mencuci piring-piring kotor di dapur bekas kami makan sekeluarga. Kami bukanlah keluarga kaya yang punya westafel, air ledeng atau PAM, apalagi pembantu. Ayahku hanya seorang kepala desa nun jauh di salah satu desa di Sumatera Barat.
Dahulu disebut desa. Sekarang disebut jorong nagari atau apalah. Pulang adikku dari cuci piring, akupun berniat menaruh piring-piring itu ke rak piring. Satu dua tiga piring mulai kutata. Pas piring keempat alangkah kagetnya aku ada gumpalan kuning di antara piring ke empat dan kelima. Auw... tahukah pembaca apa itu?Â
Apalagi kalau bukan kotoran manusia alias... pikir sendiri ya. Jijik pasti dong. Yah begitulah sungai di kampungku. Sungai besar berair jernih tapi tak jarang ada saja kotoran manusia hanyut di sana. Namanya sungai kan memang kebutuhan pokok di kampung. Sepanjang aliran sungai memang ada kampung-kampung kecil. Kampung Ulu, Kampung Pasir, Kampung Sontang, Kampung Tonga, bahkan nun makin ke gunung makin banyak ladang atau kebun kopi penduduk.
Satu kampung mendahului kampung lain. Yah sisa merekalah air sungai yang mengalir di belakang rumahku. Airnya jernih. Pada pukul-pukul tertentu bersih dan memikat untuk direnangi dan pada pukul-pukul tertentu yah malas untuk sekedar melihat alirannya. Apalagi buat nyebur.
Biasanya kami nyebur dan berenang pulang sekolah. Jam ini air sungai jernih dan bersih. Biasanya kami mandi, berenang, dan berkejar-kejaran sepuasnya. Bisa berjam-jam kami mandi. Biasanya yang membuat kami berhenti mandi jika ada teman-teman di hulu yang memasang pemicu gatal. Daun keladi racun. Daun itu mereka tumbuk dengan batu lalu dihanyutkan di sungai. Siapa yang memakai air itu pasti badannya gatal-gatal seperti alergian.
Jika sudah begitu kami faham itu kode untuk berhenti mandi. Pasti mereka ingin mandi pula di posisi kami mandi saat itu. Memang tidak semua aliran sungai bisa kita pakai buat berenang. Ada titik-titik tertentu di tengah sungai itu yang menyerupai kolam. Dalam dan airnya tenang pas untuk berenang. Titik ini biasa disebut Lubuk.
Di sungai ini pulalah semua penduduk menumpangkan kehidupan yang berwarna. Yah buat pengairan sawah petani, kolam ikan, mandi, mencuci, dan memelihara ikan larangan. Ada Lubuk Landur dengan Ikan larangannya berupa ikan garing yang besar-besar.Â
Ikan ini tak boleh ditangkap karena konon kabarnya siapa menangkap ikan ini akan tertimpa musibah. Misalnya perut membesar jika makan ikan ini. Terus jatuh dari ketinggian hingga meninggal jika memperjualbelikan ikan ini.
Baru-baru ini di daerah setempat terjadi gempa vulkanik. Beberapa hari sesudahnya berton-ton ikan garing itu mati. Merapung di air sungai. Saking banyaknya dan bau busuknya warga terpaksa menguburkan bangkai-bangkai ikan itu. Namun, satu minggu pasca mati air sungai kembali jernih dan ikan-ikan itu kembali hidup menghiasi Lubuk Landur. Kurang logis sih.Â
Tapi kompasianer jika ragu boleh kok buka youtube untuk ngecek berita sekaitan Lubuk Landur ini. Konon ikan-ikan itu berikut Lubuknya sudah dipagari oleh seorang buya di nagari itu. Belum dicabut yang memagari sang ustadz sudah wafat.
Demikian unik dan canggihnya sungai-sungai di Indonesia. Ada sekitar 5.590 sungai utama di Tanah Air Indonesia. 65.017 anak sungai yang tersebar. Dengan Daerah Aliran yang berkilo-kilo panjangnya. Semua sungai itu menorehkan pengalaman dan cerita unik yang sudah turun temurun. Akankah generasi berikut dapat menikmati sungai-sungai itu.