Ayah, Bagaimana Kabarmu di Alam Barzakh
Oleh: Riami
Ayah, malam semakin larut. Hanya suara jangkrik yang menemani rasa rinduku kepada ayah. Aku masih ingat betapa malam-malam begini aku suka nangis, padahal aku sudah umur lima tahunan lebih seingatku. Saat itu aku sudah punya adik. Tapi mengapa ya setiap malam selalu ingin menggelandot di sarung ayah yang kusam itu.
Kini setelah aku dewasa dan punya anak aku merasakan betapa hal yang kelihatannya remeh dan kecil itu adalah yang berharga buat anak. Dulu, tahuku hanya aku merasa nyaman tidur dalam gendongan sarungmu.
Dan itulah yang dinamakan kasih sayang. Kasih itu tak bisa dibeli. Tapi cinta ayah meresap bagai air pupuk herbal menyiram tanaman malaikat kecilmu agar bisa tumbuh. Kalau aku menangis tanganmu yang kekar menggendongku. Kau masukkan dalam sarungmu yang warnanya sudah pudar, karena setiap mau beli yang baru mesti kalah dengan kepentingan anak-anakmu.
Ayah, apa kabarmu di alam kubur, aku membayangkan hal terindah dalam hidupmu di alam yang baru. Kuharap tak ada lagi kelelahan yang kau rasa. Tak  ada peluh yang membasahi kaos katun putih tulang yang penuh sisa debu yang menempel. Bidadari cantik yang selalu menyediakan makan dan minum untukmu.
Aku ingin kau tahu ayah, malam ini aku ceritakan perjuangan ayah dalam catatan kecil. Buku yang tak pernah terhapuskan oleh masa. Aku ingat bagaimana ayah membangun rumah kayu. Dalam sajakku ayah terasa hidup. Ketika kerinduan begitu mendera aku hanya mampu berdoa dan menulis sajak-sajak untukmu.
Sajak nyata adalah otot ayah
Membiru dalam sengat mentari
Kulit legam menjadi prasasti perjuangan hidup
Aku menangis saja sejadi-jadinya dalam bantal di kamar tidur. Setelah sajak itu aku selesaikan. Aku ingat saat itu kau pulang dari sawah. Kaki yang berotot biru itu kau selonjorkan di kursi. Minum air panas manis dalam gelas besar. Baju kotor tak pernah kau bawa pulang, ayah petani yang rajin dan selalu menjaga kebersihan.
Gelas besar yang biasa dipakai aku cuci membawa kepada kenangan masa lalu bersama ayah. Di sawah ayah mencangkul penuh semangat sawah yang akan ditanami padi. Keringat mengucur dari dahi. "Pak, ini minum dan nasinya pak," kataku saat itu agar para pekerja juga istirahat, juga ayah.
Seperti biasa ayah pasti istirahat setelah para pekerja semua makan. Ayah selalu mengutamakan orang- orang yang bekerja makan lebih dulu baru beliau. Saat panen ayah tak lupa untuk selalu memberi tetangga. Dengan kaki yang berotot dan semangat punggungnya memanggul gabah pulang.
Ketika subuh ayah bangun, dua keranjang berisi ubi, sayur dan kelapa siap berjalan ke pasar. Tak pernah naik angkot, apa lagi sepeda. Oh dalam keranjang beraroma keringat  tulus itu aku temukan sebungkus kue. Semua untuk anaknya.
Kenangan yang mungkin tak bisa kulupakan seumur hidup adalah bagaimana ayah membangun rumah untuk keluarga. Setiap pulang dari pasar pukul sepuluh pagi, ayah mencari pasir di sungai sendiri untuk pondasi, juga batu. Â Â
Setelah ituke sawah untuk mencangkul persiapan menanam apa saja. Selain menanam padi, ayah juga rajin menanam sayur. Di sawah yang ada sumber itu ayah menanam selada air, kangkung dan juga sawi.
Suatu hari aku berdebat dengan ayah. aku ingin sekali segera menjadi pegawai. Waktu itu sekitar tahun 1990an ada angkatan pegawai guru SD di luar jawa. Aku ingin ikut karena lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) negeri waktu itu diutamakan. Tapi ayah tak memperbolehkan aku berangkat. Alasannya cukup satu, aku wanita. Jadi tak boleh jauh-jauh dari Malang.
Kejadian itu membuat aku sedikit marah pada ayah. tapi aku tak kan berani secara terang terangan dan memberontak. Aku hanya diam-diam daftar kuliah jurusan bahasa Indonesia. Dan hanya jurusan bahasa dan IPS waktu itu yang boleh kuambil karena aku lulusan SPG jurusan pendidikan guru Taman Kanak-kanak. Untuk Matematika, sains, tidak diperbolehkan menurut aturan.
Ayah tidak melarangku untuk kuliah. Sambil bekerja sebagai guru honorer di sebuah taman Kanak-kanak aku pun menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Ternyata ayah benar rejekiku adalah sebagai guru SMP di Malang.
Ayah tak pernah malas, sampai usia delapan puluh tahun ayah tetap ke sawah. Tak ada keluhan yang keluar sekali pun dari suara ayah. Sampai suatu hari suara ayah begitu parau. Â Batuknya berat.
****
Berobat dengan telaten dari rumah sakit ke rumah sakit hingga tujuh bulan. Kami upayakan bersama keluarga yang terbaik buat ayah. Selama tujuh bulan itu, sebenarnya sakit ayah sangat parah, yaitu kanker ganas di pangkal lidah. Semangat yang sangat tinggi untuk sembuh membuat ayah tetap berkenan untuk berobat.
Suatu malam ayah sesak napas. Begitu berat yang dirasakan. Kami larikan ke rumah Sakit Ben Mari Malang. Diluar dugaan melalui hasil pemeriksaan paru-paru ayah telah tertutup penyakitnya sehingga kehabisan oksigen. Keadaan ini membuat ayah harus dirujuk ke rumah sakit Daerah. Padi hari ayah dilarikan ke RSU Saiful Anwar Malang dengan ambulans.
Apa lagi saat itu aku lagi punya bayi tidak bisa mengikuti ke rumah sakit. Duh terasa berat sekali perasaanku. Siang itu kuterima telepon dari adik lelakiku. "Hallo Mbak, hari ini ayah harus dioperasi. Operasi apa? Operasi pembuatan lubang napas yang menggantikan saluran hidung." Kata adikku sangat gugup dan ketakutan.Â
Aku berusaha menenangkan diri. Kujawab telepon dari adikku, "Jika sudah di rumah sakit serahkanlah pada dokter, inshaallah itu yang terbaik. Akhirnya pagi itu juga ayah dioperasi dilubangi di leher, untuk dipasang slang  ke paru-paru, agar bisa bernapas. Dua minggu ayah dirawat di rumah sakit Syaiful Anwar Malang.
***
Sejak itu ayah tak lagi ke sawah, tak lagi kepasar. Tapi perjuangannya telah usai. Semua anaknya selesai sekolah. Selesai menikah. Ayah telah berjuang hingga hingga tuntas menurutku.
Hari-hari merawat ayah yang renta dan sangat menegangkan. Tiap hari gantian dengan dua adikku mengganti slang napas ayah. wah terasa keringatan aku saat harus melepas slang dari lubang leher, lalu menggantikannya yang baru. Terasa slang itu masuk dalam kerongkonganku, oh mengapa apa bapak terlalu lelah berjuang. Kulihat otot kekarnya dulu sudah mulai mengecil. Oh ayahku.
Berobat tak hanya ke dokter, segala menurut orang sukses kami datangi. Kami ingin ayah sembuh. Selama tujuh bulan ayah bernapas dengan slang. Hidung ayah sudah tak berfungsi. Ayah tak bisa bicara lagi.Â
Untungnya ayah bisa menulis meski hanya berpendidikan SR (sekolah Rakyat). Aku sediakan ayah satu buku untuk bisa menuliskan yang dirasa.Â
Aku menulis ini semua sampai empat kali laptop saya tutup terasa tak kuat menuliskan perjuangan ayah melawan sakit. Ayah selama ini memang tak terlalu memedulikan dirinya, yang dipedulikan adalah keluarganya. Semoga kelak jika tulisan ini terbit juga jadi saksi kebaikannya di akhirat.
***
Suatu pagi, aku sudah siap berangkat ke sekolah, mengajar, sudah pakai baju dinas. Tiba-tiba kudengar ibu memanggilku. "Nduk-nduk Ayahmu kenapa?" suara ibu hampir tak sampai.Â
Terasa darahku beku. Kulihat ayah membiru, bibirnya pucat. Slang terlepas. Aku menangis. Tapi segera kutelepon dokter. Segera juga kubawa ke rumah sakit. Masih ada harapan sampai rumah sakit napas ayah masih ada. Alhamdulillah tak henti harap-harap cemas ini. Petugas rumah sakit juga sigap.
Seharian saja bapak dirawat di sini. Sore boleh pulang. Ketika aku bertanya pada dokter apa tidak opname, menurut dokter yang merawat ayah hanya butuh istirahat.
Sebulan ayah sehat tanpa keluhan walau demikian pagi sore tetap kuminta perawat dekat rumah untuk mengontrol kesehatan beliau. Pejuang hidupku. Yang kuingat  dari ayahku ketika sakit di hari hari terakhir, selalu saja punya pesan untukku di buku. Ketika aku mau berangkat sekolah aku selalu dipanggil lewat lambaian tangannya. Ini membuat aku setiap mau berangkat harus cek buku pesannya ayah apa ya hari ini?
Suatu  hari ayah berpesan, dalam tulisan di buku, "Nduk aku lik ganok umur tanduren ning mburi omah", artinya jika bapak meninggal minta di makamkan di belakang rumah. Hatiku benar-benar sedih. Terasa aku ingin tumpahkan tangisku tapi aku tak ingin yang lain sedih. Pesan kusimpan sendiri dalam buku catatanku yang biasa kugunakan menulis.
Minggu berikutnya, ketika solat isyak ayah masih salat sendiri. Pakai tongkat beliau mengambil wudhu. Saat perawat datang memeriksa kesehatan ayah, ayah menulis sebuah pesan, "Pak Hartoyo, setelah ini saya sudah tidak mau dibawa ke rumah sakit, nanti pak Hartoyo saja yang melepas slang saya ya" begitu tulisan ayah kurang lebih ketika saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Perawat itu mengangguk. Dan menjawab, "Iya pak nanti saya yang melepas, yang penting luka dan sakitnya Bapak sudah sembuh."
Malam hari ketika pukul dua dini hari, setelah kami ganti slang napas. Ayah memanggil kami semua untuk berkumpul di kamar beliau. Waktu itu aku masih menggendong bayi kecilku Rizki. Adik perempuanku yang ragil disuruh mengaji alquran. Adiku yang laki-laki diciumi, tanganku dipegangnya erat.
Sampai dua putaran pembacaan surat yasin kira-kira pukul tiga pagi, terasa tanganku seperti tergetar oleh listrik kecil, dari telapak tangan ayah kurasakan gerakan napas yang berjalan menyusuri telapakku yang kian detik kian melemah.Â
Tak kusadari hingga pukul setengah empat ayah seperti tertidur, kurasakan dengan telapakku di depan slang napasnya sudah tak ada lagi hembusan. Kami panik, suamiku memanggil perawat, adiku lelaki memanggil ustad dekat rumah.
Saat ustad datang menyampaikan bahwa ayah telah tiada, sudah pergi untuk selamanya. Begitu juga kata perawat, kemudian dilepaslah slang napas ayah, rasanya tak ada lagi yang bisa kucurahkan selain doa dan air mata.
Subuh, pahlawan kami semua, telah pergi. Senyum ikhlas dari wajah ayah tampak sekali. Keikhlasan yang terpancar dalam menghadapi maut, telah mengajari kami untuk mengikhlaskan beliau kembali ke paseban jati.
Slang napas telah dilepas oleh perawat. Kurasakan seperti sebuah kebebasan ayah dalam bernapas di alam yang baru.Â
Meski kami sangat kehilangan sosok ayah, tapi kami tak kan lupakan ajaran luhur dari beliau yaitu, selalu mengalah dalam segala urusan terutama harta, selalu salat, penuh kasih pada sesama, tidak pelit terhadap rejeki yang kita peroleh untuk orang lain. Meski belum sepenuhnya bisa melakukan, kami semua tetap berusaha.
Ternyata pesan ayah juga wasiatnya minta dimakamkan di belakang rumah, sekarang saya rasakan begitu mengandung ikatan batin. Selain tempatnya tidak jauh, rasanya kami kalau melewati belakang rumah selalu ingin bertanya, bagaimana kabarmu di alam barzakh ayah?Â
Pertanyaan itu yang membuat kami selalu ingin mendoakan ayah, juga mengingat pesan tentang kematian yang tak dapat ditolak maupun diminta. Mengenangnya adalah sebuah keindahan dalam doa doa.
Tentang Penulis
Riami, tinggal di Malang. Pernah menulis di Malang Post, penulis buku " Catatan Harian Belajar di Bukit  Nuris", "Pelangi Krinduan", " Kisah Romansa di Negeri Awan", dan "Serpihan-serpihan Kisah Kita",  aktif menulis di kompasiana.com, aktif di Group Sahabat Guru Super Indonesia, sedang mendalami haiku di Group Kelas Puisi Alit (KEPUL) yang di ampu oleh penyair Mohamad Iskandar. Mendalami Puisi bebas di Kelas AIS( Asqalani Imagination Schol) diampu oleh Muhammad Asqalani eNeSTe,  Mengajar di SMPN 2 Pakisaji Kab. Malang.
Instagram: Riami7482, Facebook: Ria Mi
Blog kepenulisan pribadi: riaminuris.blogspot.co.id
No. WA: 085100054846
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H