Mohon tunggu...
Ria Mi
Ria Mi Mohon Tunggu... Guru - Menulis memotivasi diri

Guru

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Ayah, Bagaimana Kabarmu di Alam Barzah?

14 Oktober 2020   23:18 Diperbarui: 14 Oktober 2020   23:21 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gelas besar yang biasa dipakai aku cuci membawa kepada kenangan masa lalu bersama ayah. Di sawah ayah mencangkul penuh semangat sawah yang akan ditanami padi. Keringat mengucur dari dahi. "Pak, ini minum dan nasinya pak," kataku saat itu agar para pekerja juga istirahat, juga ayah.

Seperti biasa ayah pasti istirahat setelah para pekerja semua makan. Ayah selalu mengutamakan orang- orang yang bekerja makan lebih dulu baru beliau. Saat panen ayah tak lupa untuk selalu memberi tetangga. Dengan kaki yang berotot dan semangat punggungnya memanggul gabah pulang.

Ketika subuh ayah bangun, dua keranjang berisi ubi, sayur dan kelapa siap berjalan ke pasar. Tak pernah naik angkot, apa lagi sepeda. Oh dalam keranjang beraroma keringat  tulus itu aku temukan sebungkus kue. Semua untuk anaknya.

Kenangan yang mungkin tak bisa kulupakan seumur hidup adalah bagaimana ayah membangun rumah untuk keluarga. Setiap pulang dari pasar pukul sepuluh pagi, ayah mencari pasir di sungai sendiri untuk pondasi, juga batu.   

Setelah ituke sawah untuk mencangkul persiapan menanam apa saja. Selain menanam padi, ayah juga rajin menanam sayur. Di sawah yang ada sumber itu ayah menanam selada air, kangkung dan juga sawi.

Suatu hari aku berdebat dengan ayah. aku ingin sekali segera menjadi pegawai. Waktu itu sekitar tahun 1990an ada angkatan pegawai guru SD di luar jawa. Aku ingin ikut karena lulusan SPG (Sekolah Pendidikan Guru) negeri waktu itu diutamakan. Tapi ayah tak memperbolehkan aku berangkat. Alasannya cukup satu, aku wanita. Jadi tak boleh jauh-jauh dari Malang.

Kejadian itu membuat aku sedikit marah pada ayah. tapi aku tak kan berani secara terang terangan dan memberontak. Aku hanya diam-diam daftar kuliah jurusan bahasa Indonesia. Dan hanya jurusan bahasa dan IPS waktu itu yang boleh kuambil karena aku lulusan SPG jurusan pendidikan guru Taman Kanak-kanak. Untuk Matematika, sains, tidak diperbolehkan menurut aturan.

Ayah tidak melarangku untuk kuliah. Sambil bekerja sebagai guru honorer di sebuah taman Kanak-kanak aku pun menyelesaikan pendidikan sarjanaku. Ternyata ayah benar rejekiku adalah sebagai guru SMP di Malang.

Ayah tak pernah malas, sampai usia delapan puluh tahun ayah tetap ke sawah. Tak ada keluhan yang keluar sekali pun dari suara ayah. Sampai suatu hari suara ayah begitu parau.  Batuknya berat.

****

Berobat dengan telaten dari rumah sakit ke rumah sakit hingga tujuh bulan. Kami upayakan bersama keluarga yang terbaik buat ayah. Selama tujuh bulan itu, sebenarnya sakit ayah sangat parah, yaitu kanker ganas di pangkal lidah. Semangat yang sangat tinggi untuk sembuh membuat ayah tetap berkenan untuk berobat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun