Suatu hadits dinilai dhaif karena tidak terkumpul padanya sifat hadits hasan, lantaran kehilangan satu dari sekian syarat-syaratnya. Imam al-Baiquni (w. 1080 H) meyebutkan:
 ...
Ada dua kemungkinan kelemahan sebuah hadits. Pertama, lemah dari sisi isnad, yaitu jalur periwayatan. Kedua, kelemahan dari sisi diri perawi, yaitu orang-orang yang meriwayatkan hadits itu. Yang dimaksud dengan hadits lemah dari sisi sanad adalah kelemahan dalam jalur periwayatan hadits itu dari Rasulullah SAW kepada perawi yang terakhir. Maksudnya, ada satu, dua atau lebih perawi yang tidak lengkap dalam sebuah jalur periwayatan, dengan berbagai sebab. Yang jelas, jalur itu menjadi ompong karena terjadi kekosongan satu atau beberapa perawi di dalamnya. Dan akibatnya, sanadnya menjadi tidak tersambung dengan benar.
Sedangkan kelemahan dari sisi perawi berbeda dengan kelemahan isnad. Kelemahan ini bukan karena tidak adanya perawi atau terputusnya jalur periwayatan, tetapi karena rendahnya kualitas perawi itu sendiri sehingga hadits itu jadi tertolak hukumnya. Maka hasilnya sebenarnya sama saja, baik lemah dari sisi jalur atau pun lemah dari sisi personal para perawinya.
Para ulama biasa menyebut kata shahih ini sebagai lawan dari katasaqim (sakit). Maka hadits Shahih secara bahasa adalah hadits yang sehat, selamat, benar, sah, sempurna dan yang tidak sakit. Secara istilah menurut Shubhi al-Shalih, hadits shahih adalah hadits yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang 'adil dan dhbith hingga bersambung kepada Rasulullah atau pada sanad terakhir berasal dari kalangan sahabat tanpa mengandung sydz (kejanggalan) ataupun 'illat (cacat)
Lalu, ungkapan "An-Nazhofatu minal Iman" yang artinya; Kebersihan sebagian dari Iman. Mengenai ungkapan ini, kita harus berhati-hati apakah benar ia merupakan perkataan Rasulullah atau bukan, karena menyandarkan sebuah perkataan kepada Rasulullah namun beliau tidak benar mengatakan hal demikian, maka ini sebuah kedustaan, dan kedustaan atas nama Rasulullah merupakan dosa besar yang pelakunya diancam dengan neraka, sebagaimana beliau bersabda:
Â
"Siapa yang berdusta secara sengaja atas namaku, maka hendaklah ia mengambil tempat di neraka. (HR. Bukhari : 107)
Adapun berbicara mengenai kebersihan, tentu saja Islam telah mengajarkannya dengan pembahasan yang sangat detail dan jelas, sehingga kebersihan memiliki peranan besar dalam syari'at ini, bahkan bukan sekedar kebersihan, akan tetapi Islam mengajarkan tentang kesucian yang lebih tinggi derajatnya dari kebersihan.
Allah berfirman:
"Dan Pakaianmu sucikanlah" (QS. Al-Muddattsir: 4)