Mohon tunggu...
RhetIM
RhetIM Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Aneh ajalah. Bingung mau dibuat apa, karena ada pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mutiara di Mulut Babi

8 Januari 2016   17:08 Diperbarui: 8 Januari 2016   17:28 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 

 

Di kisaran waktu yang berjalan. Masih tetap sama dilingkupi oleh hari yang dirasa tak bermekar, seperti hal bunga-bunga yang menghias taman. Ibarat seperti ranting, takkanlah ditemui dedaunan yang hijau atas hidupnya yang terlepas dari akar pohon. Tidakkah begitu lambat, sementara peluh-peluh keringat sudah membasahi tanah, namun tak satu juga tampak tunas tumbuh menghijau. Atau setidaknya, rerumputan liar memberikan pijak kaki merasakan nyaman untuk membawa setiap langkah.

 

Selalu saja merasakan suatu tekanan, bila di hari ini tak cukup uang untuk memenuhi hidupnya sendiri. Terasa takut dan khawatir akan perjalanan hidup, yang tak mampu menggambar hari esok--bagaimana bentuk dan rupanya bersolek. Sekalipun merasa bahwa kedua tangan kokoh dan kuat, namun dibalik latar yang kelam telah menghambat dirinya dengan berbagai macam keraguan.

 

Tarmaji, adalah seorang mantan narapidana. Kasus dua tahun silam telah mencoreng namanya sendiri. Atas sebuah sikap yang bertindak di luar batas, Tarmaji terlibat sebuah kasus penganiayaan terhadap seseorang, yang juga masih terhitung sebagai kerabat dekat dari istrinya.

 

Sebelumnya ia menjalani kehidupan sebagai Gojek yang sedang booming di tengah masyarakat. Motor yang ia gunakan masih kredit. Dan uang muka yang dipakai, hasil dari pinjaman yang ia dapatkan dari seorang kakak ipar yang kini sudah tidak beristri. Cukup lumayan dan dapat diandalkan. Usaha air isi ulang yang dijalani oleh Kardi, mampu menolong suami dari adiknya yang tidak memiliki pekerjaan tetap.

 

Tiga bulan dari waktu yang dijanjikan setelah mendapatkan motor, tak kunjung juga dibayar. Kardi yang merasakan bahwa uang yang dipinjamkan bukanlah lembaran-lembaran daun, meminta sebagai haknya untuk dikembalikan. Selalu saja terulang. Dari tiga bulan sebelumnya, meminta tenggang waktu sebulan untuk dapat mencicil. Begitu seterusnya yang terjadi di bulan berikutnya, hingga belum ada sepeserpun ada di tangan Kardi, mendapatkan niat baik dari adik iparnya sendiri.

 

Hingga di malam itu. Malam di mana hujan perlahan turun dengan semilir anginnya yang dingin. Kardi masih menanti kedatangan lelaki yang sehari-harinya dipesan melalui online untuk antar-jemput pelanggan. Hari ini, tepat dari waktu yang sudah dijanjikan. Telah tiga kali diingkari untuk menyicil. Dan Kardi kali ini tak ingin dirinya termakan lagi oleh janji-janji palsu Tarmaji.

 

Dari awal pernikahan sebenarnya sangat tak direstui. Namun, Sulastri memaksakan kehendaknya untuk dapat hidup menjalani bersama Tarmaji. Sikap sabar dari Kardi, justru selalu didapat dari adik perempuan kandungnya. Hingga sepeninggal kedua orangtua mereka, mulailah terkuak sifat dari Tarmaji yang sebenarnya. Penghasilan yang didapat dari pekerjaannya sebagai tukang ojek online, kerap dihabiskannya untuk bersenang-senang di tempat prostitusi yang bukan online; mengingat budget yang tak mampu membayar tarif kalangan selebritis.

 

Keseharian adik kandungnya sebagai buruh cuci selama ini, telah menutup kewajiban angsuran yang semestinya ditutup oleh Tarmaji. Dan ketika Kardi hendak menagih janji, selalu saja adik kandungnya sendiri yang menghadap dan berbicara untuk selalu bersabar; menutupi perihal dari perlakuan Tarmaji selama ini.

 

Tak dapat lagi ditolerir. Sedang Tarmaji didapati pulang bersama dengan kedua temannya berjalan kaki tanpa kendaraan, di sanalah awal mula Kardi dan adik iparnya terlibat cekcok mulut yang berakhir pada pengeroyokan yang menimpa kakak dari Sulastri.

 

*****

“Aku khilaf. Maafkan aku!” seru Tarmaji memohon.

 

Tak digubrisnya lagi perkataan dari lelaki yang kini mendekam dibalik jeruji besi. Sebuah penyesalan, telah membayangi Sulastri sebagai istrinya yang sudah sepuluh tahun menjalani hidup bersama lelaki itu.

 

Akibat dari pengaruh alkohol di malam itu, serta motor yang digadaikan di tempat lokalisasi--demi menutup anggaran yang tak mencukupi untuk membayar beberapa botol minuman dan juga wanita penghibur yang menemaninya--telah dianggapnya membuat pusing. Ditambah dengan kedatangan Kardi menagih janji yang memang tak pernah diharapkan.

 

Emosi yang membuncah. Dalam gelap malam, turut matanya merasakan samar dan remang, yang tak lagi memandang Kardi sebagai kerabat yang telah banyak membantunya selama ini.

 

Penyesalan, sebuah sikap yang datang terlambat, di saat waktu telah menyingkap segala sesuatunya yang buruk; yang telah dialami oleh beberapa segelintir orang dibalik jeruji besi. Ataukah memang, sebatas ungkapan penyesalan takkan mampu menghapus jiwa yang telah tersakiti? Entahlah, seakan tangis pun takkan mengembalikan waktu yang telah lalu--andai itu menjadi suatu permintaan.

 

*****

Satu tahun menjalani hukuman yang dirasanya telah membuang waktu percuma. Juga, tak ada satu kerabat yang membesuk dan menilik keadaannya di dalam Hotel Prodeo. Siksaan, tekanan, dan intimidasi yang harus dilewatinya menghadapi napi yang lain, kini telah lalu sudah dan menikmati keadaannya menghirup udara bebas. Itulah sepintas yang dialami oleh tarmaji saat dirinya telah sanggup mendapati lagi hak kemanusiaannya.

 

Selalu saja ia beranggapan bahwa seandainya saja dirinya adalah koruptor, tentu tidak sesulit hari-hari kemarin untuk dilewatinya. Di dalam penjara sana ibarat seorang raja. Tak perlu juga malu juga menghadapi kembali kenyataan, ketika sudah habis masa penghukuman. Itulah yang tergambar dalam benak Tarmaji. Kepulangannya menuju keluarga, tak didapatinya siapapun. Bahkan, istrinya sudah tak terlihat lagi di rumah kontrakan yang ia tempati.

 

Kosong. Berdebu. Pengap. Suatu gambaran yang ia lihat saat masuk di tempat kediamannya.

 

“Apa ia sungguh-sungguh pergi meninggalkan aku dengan membawa serta anak-anakku?” Begitulah pikir Tarmaji yang terduduk lesu di kursi ruang tamu.

 

Melihat kedatangan Tarmaji ke rumah. Sebagian tetangganya datang menghampiri. Salah satu dari mereka, seorang bapak paruh baya mengatakan sesuatu padanya, “setelah enam bulan keberadaanmu di penjara, istrimu tiada. Sedang anak-anakmu ikut bersama kakak dari istrimu, si Kardi.”

 

Tercengang. Terasa sesak dadanya. Air matanya tak lagi dapat dibendung. Seorang lelaki yang kini mengerti dan bukan hanya sebuah ungkapan penyesalan saja di mulut. “Ah, andai waktu dapat diputar kembali.” Kembali melintas dalam pikirnya yang merasa tak sanggup lagi menahan suatu kesedihan.

 

*****

Tak kuat menahan malu dan juga himpitan atas ekonomi yang tak lagi mencukupi. Suatu jalan pintas telah ditempuh oleh istri Tarmaji. Lepas landas meninggalkan dunia, tanpa dapat lagi berpikir dengan matang.

 

Kedua anaknya pun terpaksa ia relakan tinggal bersama dengan Kardi. Sementara, Tarmaji hanya mampu mencukupkan dirinya saja dengan bekerja sebagai buruh kasar. Sesekali saja ia menengok kedua anaknya. Rasa malu terhadap Kardi yang tak sedikitpun menunjukkan dendam, membuatnya kini begitu menghormatinya.

 

“Selama kamu belum mampu untuk menghidupi dirimu sendiri, biarlah sementara kedua anakmu tinggal bersamaku. Soal biaya sekolah, atau kehidupan mereka, nggak usah kamu pikirkan. Karena bagaimanapun, anak-anak Sulastri adalah bagian dari darahku juga. Kalaupun kamu ingin menengok mereka, pintu ini selalu terbuka lebar untukmu.” Dengan penuh senyum, Kardi masih memberikannya kesempatan.

 

Hari-hari yang dilewati Tarmaji saat ini, sungguh dilewatinya sekarang dengan penuh peluh. Meski terkadang mengaduh, namun tetap ia berusaha sekalipun orang-orang sudah tak bisa lagi mempercayai latar belakangnya sebagai mantan narapidana. Seekor babi yang dahulu menginjak mutiara, kini mutiara itu telah ditelan sebagai petuah yang patut dijaganya dalam jiwa.

 

***The End***

 

MUTIARA DI MULUT BABI

Oleh: Rhet Imanuel

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun