Selalu saja ia beranggapan bahwa seandainya saja dirinya adalah koruptor, tentu tidak sesulit hari-hari kemarin untuk dilewatinya. Di dalam penjara sana ibarat seorang raja. Tak perlu juga malu juga menghadapi kembali kenyataan, ketika sudah habis masa penghukuman. Itulah yang tergambar dalam benak Tarmaji. Kepulangannya menuju keluarga, tak didapatinya siapapun. Bahkan, istrinya sudah tak terlihat lagi di rumah kontrakan yang ia tempati.
Kosong. Berdebu. Pengap. Suatu gambaran yang ia lihat saat masuk di tempat kediamannya.
“Apa ia sungguh-sungguh pergi meninggalkan aku dengan membawa serta anak-anakku?” Begitulah pikir Tarmaji yang terduduk lesu di kursi ruang tamu.
Melihat kedatangan Tarmaji ke rumah. Sebagian tetangganya datang menghampiri. Salah satu dari mereka, seorang bapak paruh baya mengatakan sesuatu padanya, “setelah enam bulan keberadaanmu di penjara, istrimu tiada. Sedang anak-anakmu ikut bersama kakak dari istrimu, si Kardi.”
Tercengang. Terasa sesak dadanya. Air matanya tak lagi dapat dibendung. Seorang lelaki yang kini mengerti dan bukan hanya sebuah ungkapan penyesalan saja di mulut. “Ah, andai waktu dapat diputar kembali.” Kembali melintas dalam pikirnya yang merasa tak sanggup lagi menahan suatu kesedihan.