*****
Tak kuat menahan malu dan juga himpitan atas ekonomi yang tak lagi mencukupi. Suatu jalan pintas telah ditempuh oleh istri Tarmaji. Lepas landas meninggalkan dunia, tanpa dapat lagi berpikir dengan matang.
Kedua anaknya pun terpaksa ia relakan tinggal bersama dengan Kardi. Sementara, Tarmaji hanya mampu mencukupkan dirinya saja dengan bekerja sebagai buruh kasar. Sesekali saja ia menengok kedua anaknya. Rasa malu terhadap Kardi yang tak sedikitpun menunjukkan dendam, membuatnya kini begitu menghormatinya.
“Selama kamu belum mampu untuk menghidupi dirimu sendiri, biarlah sementara kedua anakmu tinggal bersamaku. Soal biaya sekolah, atau kehidupan mereka, nggak usah kamu pikirkan. Karena bagaimanapun, anak-anak Sulastri adalah bagian dari darahku juga. Kalaupun kamu ingin menengok mereka, pintu ini selalu terbuka lebar untukmu.” Dengan penuh senyum, Kardi masih memberikannya kesempatan.
Hari-hari yang dilewati Tarmaji saat ini, sungguh dilewatinya sekarang dengan penuh peluh. Meski terkadang mengaduh, namun tetap ia berusaha sekalipun orang-orang sudah tak bisa lagi mempercayai latar belakangnya sebagai mantan narapidana. Seekor babi yang dahulu menginjak mutiara, kini mutiara itu telah ditelan sebagai petuah yang patut dijaganya dalam jiwa.
***The End***