Mohon tunggu...
RhetIM
RhetIM Mohon Tunggu... Buruh - Orang biasa

Aneh ajalah. Bingung mau dibuat apa, karena ada pepatah mengatakan, tak kenal maka tak sayang..

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Serial KPT

1 Desember 2015   09:32 Diperbarui: 1 Desember 2015   10:03 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

GARA-GARA MAS PILOT

Sudah dua hari belakangan ini, Zahra tampak kesal dan merasa tidak terima menerima perlakuan tak adil, menurutnya. Bagaimana tidak, dua hari belakangan ini sawerannya berkurang. Padahal, sudah dipasang muka seiba-ibanya, tapi tetap saja tidak dianggap. Semenjak hadirnya seorang saudara wanitanya menemani, ekspresi wajah saudaranya itu lebih terlihat iba dari pada garis nasibnya, mengalahkan Zahra yang sudah kawakan dan berpengalaman. Hihihi ....

Sebut saja Nabil--sengaja penulis memberikan nama samaran, agar pihak yang bersangkutan tidak tersinggung, hihihi--. Dialah sosok perempuan yang kini telah mengusik lapak milik gadis berhidung minimalis--untung pesek, jadi napasnya juga nggak seboros galaunya.

Lho, bukannya sawer itu identik dengan penyanyi. Kenapa juga pake raut wajah dimelasin segala?

Memang kedua kakak-beradik itu bukanlah penyanyi. Kedua wanita itu adalah pengemis di perempatan lampu merah. Sebelum hadirnya Nabil, pendapatan yang dihasilkan Zahra lumayan. Dan suatu petaka, jika saja ia melihat kehadiran adiknya sebagai pesaing di wilayah tempat ia mencari makan.

“Bil, lo itu anak baru! Jangan ngerusak lahan milik gue dong. Pergi lo!” usir Zahra dengan wajah beringas.

“Mbak, kita pan saudara? jangan gitu mbak,” bujuk Nabil yang tak menginginkan pengusiran terhadap dirinya benar-benar terjadi.

“Aku di sini, kan, bantu nyari makan, mbak. Beneran. Aku jangan diusir ya mbak.” Imbuhnya kini dengan nada memelas.

Sementara itu melintaslah seorang lelaki dengan bergaya parlente. Jas hitam dengan kacamata hitamnya. Celana yang dipakainya pun tampak licin--mungkin semut pun akan terpeleset jika melangkah di kain yang tak tampak kerutan dan lipatan sedikitpun.

“Minta sedekahnya, Pak!” pinta Nabil memelas dengan wajah yang dilipat-lipat tujuh.

“Maaf, nggak ada.” Sambil langkahnya berlalu pergi.

“Pelit!” gerutu Nabil kesal.

“Betewe ... mbak Zahra udah dapet berapa?”

“Baru dikit!” Masih bernada ketus, gadis pesek itu menjawab.

“Jutek amat!” gumam Nabil sewot sendiri.

“Jreenngggg ....” Terdengar suara gitar yang sudah tak asing lagi.

“Aku tergoda oleh waria, o ... oh ... oh ....”

“Wanita ...!” potong Nabil, mendengar lagu yang dibawakan oleh Five minutes dilencengkan kakaknya.

“Sewot! Suka-suka eike dong.” Tak mau kalah, kang Ibnu memprotes.

“Ini gara-gara kang Ibnu. Coba Akang nerima lamaran pemilik Wisma. Pasti kita nggak akan telantar di jalanan!” Kini Zahra merajuk, menyesali hidupnya yang kian malang.

“Yeee ... mana mungkin eike mau sama banci kaleng. Isshh ... mau ditaruh mana wajah eike coba!” bantah kang Ibnu dengan mimik bergidik ngeri membayangkan.

“Yang sabar deh. Namanya juga cobaan,” ujar Rhet baru saja datang, dan menyerahkan uang hasil ngamen.

“Tumben lo?” Tercengang, Nabil seakan tak percaya oleh ucapan yang baru saja didengarnya.

“Tumben apaan! Gue pan belum selesai ngomong. Tapi, tampang lo pas kok, tinggal ditaburin debu sama ngesot di jalan, gue yakin dalam waktu seminggu kita pasti bakal punya rumah lagi, hihihi ....” celetuk Rhet asal.

“Nggak boleh berbohong mas Rhet. Jika tidak ada satu orang pun yang mempercayai kita lagi, bagaimana kita kelak akan hidup? Sementara rizki itu datang melalui perantara orang lain. Yuk, Kita jaga kejujuran dan tanggung jawab, sekalipun hasil dari ngemis.” Kini terdiam hening tanpa suara mendengar ucapan Nabil sebagai perenungan dari masing-masing anak Kpt.

Apapun alasannya, kebohongan itu tidaklah mempercepat segalanya, juga tidak memperlambat balasan, bahwasannya masih ada mata yang melihat segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia.

Di sudut lampu merah masih saja Zahra belum bisa menerima kenyataan. Tiada tempat untuk berteduh. Mungkin suatu saat dengan adanya kejadian ini, akan membuatnya menjadi tidak manja dan sering galau lagi. Sedang di pojok gang, tampak Abdul dan Pemulung mengambil botol-botol bekas Aqua. Dan kak Dian bersamaMinal, hanya melihat kebersamaan yang terlihat semakin erat.

***the end***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun