Mohon tunggu...
Raa Tyas Putri
Raa Tyas Putri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Hukum UT Makassar

Fiat justitia ruat coelum atau fiat justitia pereat mundus - sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan, keadilan harus tetap ditegakkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Senja di Ujung Impian

22 Agustus 2024   07:09 Diperbarui: 22 Agustus 2024   09:15 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar : pinterest https://pin.it/5xEhE0k3J

“Bagaimana bisa kamu jadi TNI, Nak. Bapakmu hanya seorang tukang becak!” Ibunya setengah meratap ketika Faiz mengutarakan keinginannya mendaftar TNI AU.

Terlintas perdebatan sengit antara dia dan ibunya semalam. Faiz memainkan pulpen yang sedari tadi ia pegang. Kepala remaja delapan belas tahun ini penuh dengan beban pikiran. Menjadi abdi negara di angkatan udara sudah menjadi cita-cita Faiz sejak kecil.

Semua itu berawal ketika ia masih kecil, bapaknya mengajaknya melihat dari kejauhan perayaan hari kemerdekaan. Di sana ia melihat beberapa pesawat tempur melakukan aksi akrobatik di udara. Faiz kecil pun membayangkan jika dirinya yang menjadi pilot pesawat tempur tersebut.

“Betapa gagahnya kalau Faiz nanti bisa menjadi pilot pesawat tempur seperti itu, Pak.” Mendengar kalimat lugu yang terlontar dari putranya, hati bapak mana yang tidak terenyuh.

Senyum getir, hanya itu yang bisa bapaknya berikan kepada Faiz. Mungkin menyadari kemustahilan dengan kondisi perekonomian mereka. Mendaftar sebagai abdi negara bukanlah perkara mudah dan  murah, yang miliki hanyalah becak tua dan gubuk reyot yang berdiri di atas tanah negara, menunggu waktu pemerintah menggusur mereka.

Dalam perjalanan pulang, Faiz kecil terus saja mengoceh tentang gagahnya perwira TNI yang sedang berbaris rapi dengan seragam angkatannya masing-masing. Terlihat jelas binar gembira dalam sinar mata bocah berumur delapan tahun itu. Tanpa menyadari kegembiraan itu adalah beban berat bagi orang tuanya.

Faiz tersentak ketika seseorang menepuk bahunya. Ternyata itu Yudi, satu-satunya sahabat yang ia miliki sejak sekolah dasar. Perekonomianlah yang membuat Faiz dijauhi oleh orang. Hanya Yudi yang tidak peduli tentang hal tersebut.

“Melamun saja,” tegur Yudi sembari menarik bangku di samping Faiz, kemudian duduk. “Ada masalah?”

Tawa kecil tapi terdengar getir meluncur dari bibir Faiz. Dia menggeleng. “Orang susah sepertiku ini apa masih berhak untuk mengeluh tentang hidup?”

Seketika Yudi tertawa terbahak-bahak, bukan karena menertawakan ucapan Faiz barusan. Tetapi lebih menertawakan sikap sahabatnya itu yang tiba-tiba jadi sentimentil, padahal Faiz terkenal tidak pernah murung.

“Maaf, maaf. Lagipula tumben kamu bersikap seperti ini?” Yudi menyindir Faiz.

Akhirnya Faiz hanya bisa menghela napas dan mulai bercerita. “Semalam, aku berdebat dengan ibuku ....” Ia sengaja menggantung ceritanya. 

“Tentang keinginanmu masuk TNI?” tebak Yudi disambut anggukan samar oleh Faiz.

Mereka berdua pun terdiam. Yudi sudah bisa menebak, karena seringkali saat berkunjung ke rumah Faiz, kedua orang tua Faiz selalu meminta Yudi membujuk sahabatnya itu untuk tidak bermimpi menjadi tentara. Alasan mereka adalah biaya. Sementara Yudi tahu betul tekad Faiz menjadi tentara itu sudah bulat dan seperti harga mati.

Usaha Faiz untuk menggapai mimpinya itu tidak main-main. Sejak SD-SMP-SMA dia berusaha terus berprestasi dan meraih juara umum. Bukan hanya itu, prestasi akademiknya seimbang dengan prestasi ekstrakurikuler serta organisasi sekolah. Belum lagi, dia belajar menjadi hafiz pada seorang ustadz di sebuah pondok dengan imbalan membantu ustadz tersebut mengajar mengaji anak-anak kecil, agar mudah saat mendaftar tentara nanti. 

Berbanding terbalik dengan Yudi yang anak seorang Komisaris Polisi dan ibunya adalah seorang dokter. Yudi malah tidak memiliki keinginan sama sekali untuk jadi abdi negara. Ia hanya ingin menjadi seorang pebisnis yang bebas dan bisa berkeliling dunia kapan pun ia mau.

“Malah gantian, kamu yang melamun,” ledek Faiz. Mereka pun tertawa.

Bercanda dengan Yudi seperti ini membuat beban pikiran Faiz tidak juga surut. Saat ini dia sudah duduk di kelas XII itu berarti sebentar lagi ia lulus dari bangku SMA.

*

Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat hingga keemasan. Teriknya berganti kehangatan, seolah memeluk Faiz yang sedang dilanda kegalauan. Demi mengumpulkan biaya mendaftar tentara, sejak SMP Faiz sudah bekerja sebagai buruh pembuat batako diam-diam sepulang sekolah. Jika kedua orang tuanya tahu, pastilah mereka sedih, bahkan tidak mungkin merasa gagal menjadi orang tua bagi anak laki-laki semata wayang mereka.

Faiz bersiap pulang ke rumah. Tak lupa dia membersihkan badan terlebih dahulu, agar orang tuanya tidak curiga. Selama ini, mereka hanya tahu kalau Faiz pulang terlambat karena membantu mengajar mengaji seorang ustadz di pondok. Mereka tidak tahu jika aktivitas itu Faiz lakukan setelah maghrib dan sebelumnya dia akan bekerja menjadi buruh batako dulu.

“Assalamu'alaikum Ustadz Hanan.” Faiz meletakkan tasnya di sudut musholla seperti biasa lantas ke ruangan di balik mimbar imam untuk mengambil baju koko yang sengaja ia tinggalkan di sana. Ustadz Hanan menyambut dia dengan senyum hangat.

“Waalaikumsalam, MasyaAllah, apa kamu tidak lelah?” Terlihat jelas mimik khawatir di wajah teduh Ustadz Hanan.

Senyum tipis tersungging di wajah Faiz yang sudah berganti dari kaos putih jadi mengenakan baju koko. Ia membetulkan letak pecinya. Sembari menyiapkan Alquran dan beberapa iqra' untuk bocah-bocah mengaji, Faiz seolah menjawab lirih Ustadz Hanan, tapi lebih untuk menyemangati diri sendiri.

“Lelah, sudah pasti, Ustadz. Hanya saja, saya mencoba untuk tidak memikul beban yang saya bawa. Meskipun masih saja tetap terasa berat,” seloroh Faiz getir. 

Ustadz Hanan menepuk bahu santrinya itu. Ia sadar kalau beban remaja SMA ini begitu berat. “Kamu sudah melakukan hal yang benar. Jangan memikul beban hidupmu, serahkan bebanmu kepada Sang Pemiliki Semesta. InsyaAllah kamu tidak akan merasa lelah.”

Percakapan mereka pun terputus oleh ramainya suara bocah-bocah berusia lima hingga sepuluh tahun yang mulai berdatangan untuk mengaji. Mereka selalu berhasil menghapus rasa lelah Faiz untuk sejenak.

*

Siang itu, ruang kelas XII IPA.1 mendadak sunyi, berita yang disampaikan oleh salah satu guru BK membuat raut wajah Faiz menegang. Tanpa berpamitan ia menyambar ransel uangnya dan langsung berlari keluar kelas. Ia terus berlari, pikirannya kacau balau. Seminggu lagi ujian nasional, berita tadi menghancurkan pondasi pertahanan Faiz dalam menghadapi hidup.

Gubuk reyot itu sudah ramai dengan warga. Bendera kuning seadanya berkibar di depan gubuk tempat ia dan kedua orang tuanya tinggal.

“Faiz Nur Rohman, kamu diminta segera pulang, bapakmu kecelakaan.” 

Ucapan guru BK tadi terngiang kembali di telinga Faiz. Langkahnya limbung, semua mata memandang iba ke arah Faiz. Warga sekitar tahu kalau Faiz memiliki cita-cita tinggi ingin menjadi seorang tentara.

Pertahanan Faiz benar-benar runtuh seketika saat melihat ibunya bersimpuh di sisi tubuh kaku yang tertutup kain panjang. Kaki Faiz seolah tidak lagi memijak bumi, dia pun duduk di sisi wanita yang telah melahirkan dia. 

Gemetar, ia merengkuh tubuh ringkih wanita berusia empat puluh tahun itu. Sekarang isi kepala Faiz bercampur aduk. Mimpi dia jadi tentara, ujian nasional yang sudah dekat, lantas posisi dia yang mau tidak mau harus jadi tulang punggung bagi ibunya menggantikan mendiang ayahnya.

Airmata Faiz seolah membeku karena rasa perih, saat Ia ikut memandikan jenazah ayahnya, dia sama sekali tidak bisa menangis. Kehilangan sosok ayah, tidak mengaburkan mimpinya menjadi tentara. Bukan egois, tapi hanya itu satu-satunya jalan ia bisa mengangkat derajat kedua orang tuanya.

Pemakaman itu mulai sepi, hanya tertinggal Faiz dan ibunya yang terus memeluk nisan ayahnya. Sementara pikiran Faiz ramai dengan berbagai macam hal. Berharap ada jalan untuk tetap menggapai impiannya.

Akankah Faiz mampu menggapai mimpinya? (Bersambung)https://pin.it/5xEhE0k3J

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun