Seketika Yudi tertawa terbahak-bahak, bukan karena menertawakan ucapan Faiz barusan. Tetapi lebih menertawakan sikap sahabatnya itu yang tiba-tiba jadi sentimentil, padahal Faiz terkenal tidak pernah murung.
“Maaf, maaf. Lagipula tumben kamu bersikap seperti ini?” Yudi menyindir Faiz.
Akhirnya Faiz hanya bisa menghela napas dan mulai bercerita. “Semalam, aku berdebat dengan ibuku ....” Ia sengaja menggantung ceritanya.
“Tentang keinginanmu masuk TNI?” tebak Yudi disambut anggukan samar oleh Faiz.
Mereka berdua pun terdiam. Yudi sudah bisa menebak, karena seringkali saat berkunjung ke rumah Faiz, kedua orang tua Faiz selalu meminta Yudi membujuk sahabatnya itu untuk tidak bermimpi menjadi tentara. Alasan mereka adalah biaya. Sementara Yudi tahu betul tekad Faiz menjadi tentara itu sudah bulat dan seperti harga mati.
Usaha Faiz untuk menggapai mimpinya itu tidak main-main. Sejak SD-SMP-SMA dia berusaha terus berprestasi dan meraih juara umum. Bukan hanya itu, prestasi akademiknya seimbang dengan prestasi ekstrakurikuler serta organisasi sekolah. Belum lagi, dia belajar menjadi hafiz pada seorang ustadz di sebuah pondok dengan imbalan membantu ustadz tersebut mengajar mengaji anak-anak kecil, agar mudah saat mendaftar tentara nanti.
Berbanding terbalik dengan Yudi yang anak seorang Komisaris Polisi dan ibunya adalah seorang dokter. Yudi malah tidak memiliki keinginan sama sekali untuk jadi abdi negara. Ia hanya ingin menjadi seorang pebisnis yang bebas dan bisa berkeliling dunia kapan pun ia mau.
“Malah gantian, kamu yang melamun,” ledek Faiz. Mereka pun tertawa.
Bercanda dengan Yudi seperti ini membuat beban pikiran Faiz tidak juga surut. Saat ini dia sudah duduk di kelas XII itu berarti sebentar lagi ia lulus dari bangku SMA.
*
Matahari perlahan tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat hingga keemasan. Teriknya berganti kehangatan, seolah memeluk Faiz yang sedang dilanda kegalauan. Demi mengumpulkan biaya mendaftar tentara, sejak SMP Faiz sudah bekerja sebagai buruh pembuat batako diam-diam sepulang sekolah. Jika kedua orang tuanya tahu, pastilah mereka sedih, bahkan tidak mungkin merasa gagal menjadi orang tua bagi anak laki-laki semata wayang mereka.