Orang-orang terpelajar jaman dulu itu memang terkenal menguasai banyak bahasa bahkan penguasaan bahasa asing, indonesia dan daerah sekaligus.
Sekarang kita generasi muda memiliki kecenderungan yang sama untuk mencampur adukan bahasa walaupun dapat membuat profesor, doktor, dosen dan guru bahasa indonesia sedikit terguncang.
Serangkaian tulisan saya ditas itu semata-mata adalah usaha untuk membuat Indonesia terutama kita generasi muda "terbiasa" dengan perbedaan.Â
Serangkaian tulisan itu pula yang mengingatkan kita kepada ungkapan Marthin Luther, In the end, we will remember not the words of our enemies, but the silence of our friends atau kalau yang lebih barokah ungkapan Ali Bin Abi Thalib, mereka yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaaan atau kalau mau yang lebih suci ungkapan Quran, sesungguhnya Tuhan menciptakan manusia berbeda untuk saling mengenal.
Ketika pemuda jaman dulu mendeklarasikan diri siap menjadi Indonesia dengan sumpah pemudanya. Jika kebijakan pribumi-non pribumi dan asing-aseng benar-benar diterapkan, terkadang saya membayangkan pemuda di Indonesia memberikan dukungan aksi serupa dengan mendeklarasikan diri siap membelahak kaum minoritas dan hak asasi manusia di Indonesia.Â
Coba bayangkan apabila nanti saya berhasil menggandeng Chelsea Islan yang Katolik atau Gita Savitri Devi yang Melayu atau Agnes Monica yang tionghoa itu benar-benar bhinekka tunggal ika dan sumpah pemuda jaman now atau kekinian bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H