Mohon tunggu...
Reyne Raea
Reyne Raea Mohon Tunggu... Penulis - Mom Blogger Surabaya

Panggil saya Rey, mom blogger di reyneraea.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan, Pernikahan, dan Impian serta Kodratnya

13 Desember 2019   08:32 Diperbarui: 13 Desember 2019   17:22 2224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa kabar wahai perempuan? Dalam pernikahanmu, apakah kau bahagia?"

Dalam beberapa hari terakhir, saya menonton 3 buah film drama yang hampir sama temanya, meski beda alur dan ceritanya.

Adalah Kim Ji-Young, Born 1982 yang menceritakan tentang banyak hal, namun di sini saya ingin menyoroti kondisi lakon utamanya, Kim Ji-Young, seorang ibu rumah tangga dengan 1 anak perempuan yang lucu dan sehat, suami yang begitu pengertian dan baik hati, serta kehidupan yang yang sempurna meski tidak terlalu mewah.

Tapi, Kim Ji-Young depresi, merasa dirinya tidak berarti, sebagai ibu rumah tangga yang tidak produktif dan hanya menanti uang dari suami.

Ada pula Nicole, dalam film Marriage Story yang menceritakan seorang istri yang akhirnya menyerah dengan 10 tahun pernikahannya, hanya karena dia merasa suaminya tidak memahaminya, tidak mengerti cita-cita dan impiannya.

Dia merasa bukan siapa-siapa lagi, semua orang hanya memandang suaminya yang semakin naik pamornya, sementara semua itu berkat ide dan dukungannya, dan suaminya tidak pernah merasa itu adalah masalah buatnya.

Di sisi lain ada pula April, dalam film lama di tahun 2008 lalu, Revolutionary Road yang sesungguhnya punya segalanya, meski sederhana. Tapi dia merasa ada yang kurang dengan kehidupannya, dia ingin mewujudkan cita-citanya menjadi aktris terkenal.

Dan semua itu terasa sulit, karena harus mengurus anak dan rumah di sebuah daerah yang jauh dari kota besar.

Dari ketiga film tersebut, dihubungkan oleh perempuan yang tidak berbahagia dengan pernikahannya, dan merasa pernikahan dan anak menghalangi cita-cita dan impiannya.

Menikah, Membatasi Impian Atau Memang Kodrat?
Menikah, sejatinya adalah menyempurnakan ibadah, setidaknya bagi seorang muslim. Namun yang terjadi, kebanyakan menikah hanya karena tuntutan keluarga dan lingkungan.

Keluarga pasti gerah jika anaknya belum kunjung menikah. Hal itu juga disebabkan oleh lingkungan yang mana notabene orang Indonesia punya standar tersendiri tentang hidup 'normal' yaitu, menikah.

Karenanya, banyak yang menikah hanya karena tuntutan tersebut, tanpa disertai dengan kesiapan mental kedua belah pihak, yaitu suami dan istri. Setelah menikah, tuntutan lingkungan dan keluargapun tidak berhenti sampai di situ, masih ada tuntutan punya anak.

Dan begitulah, kebanyakan pasangan suami istri sama sekali tidak membahas hal tentang anak, semuanya terjadi begitu saja, bahkan ada semacam keinginan bahwa setelah menikah langsung punya anak.

Lalu, lahirlah anak-anak yang menggemaskan tersebut.

Sayang sekali, anak-anak menggemaskan tersebut, tidak selamanya hanya gemas saja, sejak dalam kandungan, anak-anak tersebut sudah mengajari kedua orang tuanya tentang kesabaran.

Dari tantangan mual dan segala permasalahan kehamilan, yang sungguh tidak nyaman bagi seorang perempuan, serta perubahan mood yang sungguh membuat tidak nyaman bagi lelaki, yang mana adalah sebagai suami dan calon ayah.

Lalu, lahirlah anak yang ditunggu-tunggu tersebut.

Sekali lagi anak-anak mengajarkan kedua orang tuanya, tentang menjadi manusia berkualitas, yaitu bijak dan sabar. Dari banyaknya masalah bayi newborn, yang pastinya merupakan hal baru buat pasangan orang tua, serta berkurangnya dan kacaunya jam tidur orang tua karena si bayi.

Sungguh, hal tersebut amat sangat menyumbang mulai pecahnya hubungan suami istri. Tidak peduli usia pernikahan berapa tahun, pun juga usia pasangan tersebut saat menikah berapa tahun.  Tidak melulu pasangan yang menikah dengan usia belia akan mudah menyerah.

Banyak juga pasangan yang menikah dengan usia matang, begitu terkejut dengan perubahan tersebut. Alhasil, terciptalah ibu-ibu dengan kondisi baby blues, dan bahkan berlanjut hingga menjadi postpartum depression, karena selalu diabaikan.

Belum lagi selepas 3 bulan, jika sang ibu yang ternyata harus bekerja kantoran, drama demi drama menitipkan anak amat menguras waktu, energi dan emosi sang ibu, yang tentu saja akan berdampak pada hubungan pernikahan. 

Tidak banyak kemudian, para ibu memilih resign, dengan harapan bisa lebih fokus mengurus anak di rumah. Tapi ternyata, keputusan tersebut seringnya tidak berjalan sesuai impian.

Banyak yang tidak siap dengan keputusan tersebut, lalu kaget dengan kehidupan ibu rumah tangga yang monoton dan super melelahkan itu. Berikutnya, sang ibu merasa tidak bahagia, dan mulai berubah jadi perempuan yang menyebalkan di mata suaminya.

Ditambah suami yang tidak pengertian, maka selesailah sudah nasibnya. Terombang ambing dalam ketidakbahagiaan, berubah menjadi depresi, dan mulai menyesali mengapa harus punya anak? hingga lebih parahnya menyesal, mengapa harus menikah?

Menikah terasa bagaikan membatasi impian, padahal semua itu adalah kodrat. Namun entahlah, semakin bertambah zaman, semakin banyak perempuan yang seolah tidak sanggup menerima kodratnya.

Perempuan Wajib Menyadari Kodratnya
Perempuan, sejatinya menyadari kodratnya yang terlahir sebagai perempuan dan akan menjadi seorang istri dan ibu. Merupakan PR besar bagi orang tua mengajarkan dan mempersiapkannya sejak dini.

Mengejar impian boleh, asal tetap tidak lupa pada kodratnya. Karena sebagaimanapun kita mengingkari kodrat, jika Tuhan sudah menghendaki, maka kita tidak bisa mengelak dari kodrat menjadi istri dan ibu, dengan segala tantangannya.

Karena dunia kadang tidak bersahabat, kondisi kadang tidak berpihak pada kita. Adakalanya, wanita terpaksa harus diam di rumah, bertahun-tahun fokus mengasuh anak sebaik mungkin.

Meskipun demikian, ada banyak hal yang bisa dilakukan dari rumah saja, untuk berkarya. Namun pastikan agar apa yang kita lakukan tersebut, sama sekali tidak melupakan tugas utama kita menjadi seorang ibu dan istri.

Jika perempuan, sudah mengenal kodratnya sejak kecil, maka akan lebih mudah baginya berdamai dengan keadaan, saat impiannya harus tertunda karena harus menjalani kodratnya dulu, sebagai istri dan ibu.

Demikianlah, maka pernikahan para perempuan yang tidak bahagia, yang hidupnya hanya di selimuti kesedihan bahkan sampai depresi, dan berakhir tragis, akan bisa dicegah.

Tidak akan ada Kim Ji-Young yang depresi karena merasa hidupnya tidak berarti tidak ada lagi Nicole dalam Marriage Story yang menyerah pada pernikahannya, atau April yang memilih mengakhiri hidup janinnya karena merasa menghalangi impiannya.

Karena kita semua adalah perempuan, dan menjadi istri dan ibu adalah kodrat yang membuat diri kita naik ke level hidup yang lebih tinggi. Bukankah seorang istri adalah yang terhebat dalam memegang kunci keberhasilan para suami kita?

Dan, bukankah kita memiliki surga anak-anak kita? Maka nikmat Tuhan mana lagi yang bisa kita, para perempuan bisa dustakan?

Reyne Raea

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun